Jakarta: Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim disebut belum memenuhi seluruh kewajibannya dalam perjanjian Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
"Sejauh dari yang saya ingat, tidak seluruhnya (kewajiban) diserahkan," kata mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn MS Yusuf saat bersaksi untuk terdakwa Sjamsul Nursalim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Juni 2018.
Ia menjelaskan BDNI merupakan salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup pada 1998. BDNI juga diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan perjanjian MSAA di BPPN.
Menurut Glenn dari hasil perhitungan BPPN, BDNI memiliki utang sebesar Rp47,258 triliun. Sementara aset BDNI saat itu senilai Rp18,85 triliun, termasuk utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena.
Ia menjelaskan aset tersebut termasuk dalam asset management credit, namun ternyata macet saat penandatanganan MSAA dan release and discharge diberikan.
Ia menambahkan kewajiban yang harus dibayarkan Sjamsul Rp28,408 triliun. Rinciannya yakni berupa aset Rp27,495 triliun dan uang tunai sebesar Rp1 triliun.
Menurut Glenn dalam kesepakatan antara BPPN dan BDNI saat itu disepakati pemenuhan kewajiban likuid terlebih dulu berbentuk uang tunai serta saham dan aset-aset yang diserahkan ke BPPN.
"Lalu dinegosiasikan dan dikumpulkan dalam holding company agar menjaga aset-aset itu nilainya tidak turun," ungkap Glenn.
Kemudian BPPN mengirimkan surat Sjamsul Nursalim pada 1 November 1999 terkait hal tersebut. Sjamsul kemudian membalas surat itu yang isinya menolak menambah aset untuk mengganti kerugian dengan alasan utang petambak termasuk Kredit Usaha Kecil (KUK).
"Ada surat dari Beliau (Sjamsul) yang mengatakan belum mau menggantinya sampai kami berhenti pada 10 Januari 2000, dan sampai saat itu belum tuntas masalahnya," pungkas Glenn.
Jakarta: Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim disebut belum memenuhi seluruh kewajibannya dalam perjanjian
Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
"Sejauh dari yang saya ingat, tidak seluruhnya (kewajiban) diserahkan," kata mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn MS Yusuf saat bersaksi untuk terdakwa Sjamsul Nursalim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Juni 2018.
Ia menjelaskan BDNI merupakan salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup pada 1998. BDNI juga diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan perjanjian MSAA di BPPN.
Menurut Glenn dari hasil perhitungan BPPN, BDNI memiliki utang sebesar Rp47,258 triliun. Sementara aset BDNI saat itu senilai Rp18,85 triliun, termasuk utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena.
Ia menjelaskan aset tersebut termasuk dalam
asset management credit, namun ternyata macet saat penandatanganan MSAA dan
release and discharge diberikan.
Ia menambahkan kewajiban yang harus dibayarkan Sjamsul Rp28,408 triliun. Rinciannya yakni berupa aset Rp27,495 triliun dan uang tunai sebesar Rp1 triliun.
Menurut Glenn dalam kesepakatan antara BPPN dan BDNI saat itu disepakati pemenuhan kewajiban likuid terlebih dulu berbentuk uang tunai serta saham dan aset-aset yang diserahkan ke BPPN.
"Lalu dinegosiasikan dan dikumpulkan dalam
holding company agar menjaga aset-aset itu nilainya tidak turun," ungkap Glenn.
Kemudian BPPN mengirimkan surat Sjamsul Nursalim pada 1 November 1999 terkait hal tersebut. Sjamsul kemudian membalas surat itu yang isinya menolak menambah aset untuk mengganti kerugian dengan alasan utang petambak termasuk Kredit Usaha Kecil (KUK).
"Ada surat dari Beliau (Sjamsul) yang mengatakan belum mau menggantinya sampai kami berhenti pada 10 Januari 2000, dan sampai saat itu belum tuntas masalahnya," pungkas Glenn.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SCI)