Jakarta: Paryoto mengaku tak mengira bakal berurusan dengan hukum usai pensiun dari juru ukur tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dia kini sebagai terdakwa atas dugaan pemalsuan dan penerimaan suap terkait pengukuran tanah di Cakung Barat pada 2011.
Menurut pria berusia 62 tahun itu, dirinya hanya mantan juru ukur tanah BPN, pensiunan biasa. Namun, peristiwa yang mesti dijalaninya tahun ini bisa dibilang tidak biasa.
Tak hanya harus menjalani proses hukum, dia juga diserang bertubi-tubi, mulai dari aksi demonstrasi puluhan orang yang menuntutnya dihukum berat, hingga tuduhan-tuduhan di media sosial. Paryoto bahkan bingung dengan perkara yang menjeratnya sebagai terdakwa.
"Sudah ratusan kali saya melakukan pengukuran tanah. Semuanya saya jalankan sesuai SOP (standar operasional prosedur). Enggak beda dengan saya lakukan di tanah Cakung Barat, tapi yang satu itu membuat saya jadi tersangka," kata Paryoto kepada wartawan, Jakarta, Jumat, 27 November 2020.
Paryoto mengingat betul ihwal dirinya tersangkut kasus ini. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada Mei 2020. "Saya kaget. Down. Istri saya jelas shock," kata dia.
Saat itu, Paryoto langsung mengadu ke mantan atasannya, kepala seksi, kabid, lalu disarankan ke Kakanwil. Saat bersama Kakanwil, Paryoto ditunjukkan isi perbincangan WhatsApp antara Kakanwil dengan Kepala Pertanahan Jaktim.
"Saya cuma lihat sepintas. Isinya, saya dijamin aman walaupun tersangka," kata Paryoto.
Kepala Pertanahan Jaktim memberi nomor Paryoto kepada seseorang bernama Awi. Orang itu kemudian menghubungi Paryoto, meminta bertemu dengan iming-iming akan membantu. Keduanya lalu bertemu di hotel di kawasan Pluit.
Baca: Haris Azhar Diminta Pelajari Kasus Sengketa Tanah di Cakung
Di sana, Awi meminta Paryoto mengaku menerima uang dari Achmad Djufri, utusan si empunya tanah, Benny Tabalujan, yang mendampinginya saat melakukan pengukuran. Paryoto diminta mengaku menerima uang dengan nilai banyak.
Awi bahkan meyakinkan Paryoto jika dia akan selamat jika mengakui hal tersebut. "Awi bilang, kepala saya jaminannya," ucap dia.
Paryoto melaporkan hasil pertemuan itu kepada Kakanwil DKI Jakarta. Namun oleh Kakanwil, Paryoto dipaksa mengakui menerima uang.
"Bilang aja yang ngasih lupa. Intinya saya dilepas gitu aja sama Kakanwil. Pulangnya saya ke Kantor Jaktim, saya laporan. Dia sependapat dengan Kakanwil," kata Paryoto.
Baca: Terdakwa Sengketa Tanah Cakung Mengaku Diintervensi
Meski sebenarnya tak menerima uang sepeser pun, Paryoto terpaksa menurut. Paryoto saat itu hanya memikirkan nasib keluarganya, terutama sang anak yang masih kecil.
Kendati begitu, Paryoto akhirnya berbalik setelah mengikuti proses dan mengetahui detail yang terjadi di belakang semuanya. "Ini sih saya dikorbanin. Saya minta dilindungin, malah dijorokin," kata Paryoto.
Dia juga tak ingin dimanfaatkan untuk menjerat dua tersangka lainnya, Benny Tabalujan dan Ahmad Djufri. "Dari saya bisa masuk ke mereka lagi. Itu berarti saya ikut menzalimi mereka," kata Paryoto.
Oleh karenanya di persidangan, Paryoto mencabut keterangannya soal penerimaan uang tersebut. Dia bersyukur keluarga mendukung, termasuk orang-orang di lingkungan rumahnya.
"Para ketua RT saya sampaikan, bukan aib, karena saya enggak merasa salah. RT pada ngerti. Mendoakan semua ketua RT. Saya tinggal di situ sejak 1985. Dari dulu enggak pernah bermasalah," kata Paryoto.
Paryoto akan menjalani sidang vonis pada Selasa, 1 Desember 2020. Tak banyak yang diharapkan Paryoto dari persidangan. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim.
"Saya percaya hakim tahu kebenarannya dan akan memberikan saya keadilan," kata dia.
Jakarta: Paryoto mengaku tak mengira bakal berurusan dengan hukum usai pensiun dari juru ukur tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dia kini sebagai terdakwa atas dugaan pemalsuan dan penerimaan suap terkait pengukuran tanah di Cakung Barat pada 2011.
Menurut pria berusia 62 tahun itu, dirinya hanya mantan
juru ukur tanah BPN, pensiunan biasa. Namun, peristiwa yang mesti dijalaninya tahun ini bisa dibilang tidak biasa.
Tak hanya harus menjalani proses hukum, dia juga diserang bertubi-tubi, mulai dari aksi demonstrasi puluhan orang yang menuntutnya dihukum berat, hingga tuduhan-tuduhan di media sosial. Paryoto bahkan bingung dengan perkara yang menjeratnya sebagai terdakwa.
"Sudah ratusan kali saya melakukan pengukuran tanah. Semuanya saya jalankan sesuai SOP (standar operasional prosedur). Enggak beda dengan saya lakukan di tanah Cakung Barat, tapi yang satu itu membuat saya jadi tersangka," kata Paryoto kepada wartawan, Jakarta, Jumat, 27 November 2020.
Paryoto mengingat betul ihwal dirinya tersangkut kasus ini. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada Mei 2020. "Saya kaget. Down. Istri saya jelas shock," kata dia.
Saat itu, Paryoto langsung mengadu ke mantan atasannya, kepala seksi, kabid, lalu disarankan ke Kakanwil. Saat bersama Kakanwil, Paryoto ditunjukkan isi perbincangan WhatsApp antara Kakanwil dengan Kepala Pertanahan Jaktim.
"Saya cuma lihat sepintas. Isinya, saya dijamin aman walaupun tersangka," kata Paryoto.
Kepala Pertanahan Jaktim memberi nomor Paryoto kepada seseorang bernama Awi. Orang itu kemudian menghubungi Paryoto, meminta bertemu dengan iming-iming akan membantu. Keduanya lalu bertemu di hotel di kawasan Pluit.
Baca:
Haris Azhar Diminta Pelajari Kasus Sengketa Tanah di Cakung
Di sana, Awi meminta Paryoto mengaku menerima uang dari Achmad Djufri, utusan si empunya tanah, Benny Tabalujan, yang mendampinginya saat melakukan pengukuran. Paryoto diminta mengaku menerima uang dengan nilai banyak.
Awi bahkan meyakinkan Paryoto jika dia akan selamat jika mengakui hal tersebut. "Awi bilang, kepala saya jaminannya," ucap dia.