Jakarta: Senior Manager PT Gajah Tunggal Ferry Hollen mengaku pernah diminta membawa sejumlah dokumen dari Singapura ke Indonesia oleh mantan Direktur Keuangan PT Gajah Tunggal, Mulyati Gozali. Dokumen tersebut berupa surat kuasa dari pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim untuk melunasi utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ferry yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung itu mengatakan, peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 2004. Ia yang tengah berada di Singapura untuk berobat dihubungi oleh sekretaris Mulyati.
“Saya ditelepon sekretaris Ibu Mulyati untuk bawa dokumen ke Jakarta. Saya diminta ke Bandara Changi, tiket dan dokumen sudah disiapkan,” ujar Ferry di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 30 Juli 2018.
Kemudian, kata dia, perempuan yang dimaksud Mulyati menyerahkan dokumen tersebut dalam amplop tertutup. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Ferry langsung diminta ke Kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
(Baca juga: Saksi Sebut PT Dipasena dan Petambak Sempat Berkonflik)
Kendati begitu, Ferry mengaku tidak mengetahui isi dokumen dalam amplop tersebut. Saat dokumen dibuka, ia lalu diminta untuk menandatanganinya sebagai bukti karena telah menerima dokumen tersebut.
Belakangan, setelah kasus BLBI terkuak, Ferry baru mengetahui dokumen itu berupa surat kuasa dari Sjamsul kepada istrinya Itjih Nursalim untuk menyelesaikan kewajiban perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) dengan jaminan aset obligor dan pembayaran uang tunai. Ia mengaku baru tahu setelah ditunjukan oleh penyidik KPK ketika dirinya diperiksa.
“Saya ditunjukin sama penyidik surat kuasanya. Saya tahu di penyelesaian akhir,” ujar Ferry.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa merugikan negara Rp4,58 triliun. Ia diduga telah melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Perbuatan itu dilakukan bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kunjoro Jakti, Sjamsul Nursalim dan istri, Itjih Nursalim.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul.
Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
(Baca juga: Penghapusan Utang BDNI Sempat Dibahas di Sidang Kabinet)
Jakarta: Senior Manager PT Gajah Tunggal Ferry Hollen mengaku pernah diminta membawa sejumlah dokumen dari Singapura ke Indonesia oleh mantan Direktur Keuangan PT Gajah Tunggal, Mulyati Gozali. Dokumen tersebut berupa surat kuasa dari pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim untuk melunasi utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ferry yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung itu mengatakan, peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 2004. Ia yang tengah berada di Singapura untuk berobat dihubungi oleh sekretaris Mulyati.
“Saya ditelepon sekretaris Ibu Mulyati untuk bawa dokumen ke Jakarta. Saya diminta ke Bandara Changi, tiket dan dokumen sudah disiapkan,” ujar Ferry di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 30 Juli 2018.
Kemudian, kata dia, perempuan yang dimaksud Mulyati menyerahkan dokumen tersebut dalam amplop tertutup. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Ferry langsung diminta ke Kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
(Baca juga:
Saksi Sebut PT Dipasena dan Petambak Sempat Berkonflik)
Kendati begitu, Ferry mengaku tidak mengetahui isi dokumen dalam amplop tersebut. Saat dokumen dibuka, ia lalu diminta untuk menandatanganinya sebagai bukti karena telah menerima dokumen tersebut.
Belakangan, setelah kasus BLBI terkuak, Ferry baru mengetahui dokumen itu berupa surat kuasa dari Sjamsul kepada istrinya Itjih Nursalim untuk menyelesaikan kewajiban perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) dengan jaminan aset obligor dan pembayaran uang tunai. Ia mengaku baru tahu setelah ditunjukan oleh penyidik KPK ketika dirinya diperiksa.
“Saya ditunjukin sama penyidik surat kuasanya. Saya tahu di penyelesaian akhir,” ujar Ferry.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa merugikan negara Rp4,58 triliun. Ia diduga telah melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Perbuatan itu dilakukan bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kunjoro Jakti, Sjamsul Nursalim dan istri, Itjih Nursalim.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul.
Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
(Baca juga:
Penghapusan Utang BDNI Sempat Dibahas di Sidang Kabinet)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)