medcom.id, Jakarta: Sebanyak 168 calon haji asal Indonesia gagal terbang ke Tanah Suci. Mereka diamankan petugas imigrasi Filipina karena dipergoki menggunakan paspor palsu. Pilihan berhaji melalui negara Lumbung Padi itu bukan tanpa sebab. Mereka terbujuk para calo yang menawarkan pemberangkatan haji lebih cepat, dan tanpa proses tunggu yang bertahun-tahun seperti keumuman calon haji Indonesia lainnya.
Baca: Kisah Calon Haji yang Terjebak di Filipina
Aksi para calo dengan menyasar calon jemaah haji bukan sekali ini saja terjadi. Bahkan, keberadaan calo sudah ada sejak pemberangkatan haji masih menggunakan kapal laut masa Hindia Belanda. Seperti yang dituliskan M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji di Indonesia, mereka memanfaatkan keterdesakan jemaah haji dalam mendapatkan tiket berlayar.
"Mereka berkolusi dengan wakil Syeikh dan kepala jemaah," tulis M. Shaleh.
Baca: Kapal Laut, dan Perjuangan Calon Haji di Masa Lampau
Modus operandi yang dipakai kala itu adalah dengan menemui jemaah haji di pelabuhan transit. Dengan kapal penolong untuk mendapatkan tiket, mereka menyandera tiket dengan tebusan atau bayaran yang lebih tinggi dari harga normal.
"Sebagian jemaah terpaksa menerima tiketnya. Sebagian lainnya memilih berangkat dengan kapal berikutnya," tulis dia.
Dengan modus operandi yang hampir mirip, calo juga mendatangi jemaah haji dari Karesidenan Kedu sambil menawarkan tiket. Padahal maskapai pelayaran telah membatasi tempat yang tersedia di kapal yang akan ditumpangi. Peluang ini semakin menggiurkan para calo untuk menjerat jemaah dengan harga tiket yang jauh lebih tinggi dari biasanya.
Keleluasaan calo haji masa itu dikarenakan tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah Hindia Belanda. Jika mengacu pada Ordonansi Haji 1898, tidak akan ada satu pun ketentuan yang menyinggung prosedural pembelian tiket kapal. Ketentuan soal tiket baru muncul pada Ordonansi Haji yang dikeluarkan pada 1922. Dalam peraturan baru ini, jemaah haji diwajibkan membeli tiket hanya dari pelgrimsagent atau agen resmi haji Hindia Belanda.
"Tiket kapal tersebut berlaku juga untuk kembali ke tempat asal pemberangkatan (retourbiljetten)," tulis M. Shaleh.
Dengan adanya agen haji, jemaah haji lebih mudah memeroleh tiket, sementara calo haji mampu dibatasi gerak-geriknya. Setiap musim haji, agen haji ditempatkan di Jeddah.
Baca: Tekad Haji Indonesia di Masa Perang
"Selain menjual tiket, agen haji yang diangkat Departement van Marine itu juga bertanggungjawab atas pembelian tiket kapal sekali jalan namun hanya untuk ke Hijaz. Ia harus menjamin tersedianya ruangan di kapal yang sesuai jumlah tiket kapal yang terjual," tulis dia.
medcom.id, Jakarta: Sebanyak 168 calon haji asal Indonesia gagal terbang ke Tanah Suci. Mereka diamankan petugas imigrasi Filipina karena dipergoki menggunakan paspor palsu. Pilihan berhaji melalui negara Lumbung Padi itu bukan tanpa sebab. Mereka terbujuk para calo yang menawarkan pemberangkatan haji lebih cepat, dan tanpa proses tunggu yang bertahun-tahun seperti keumuman calon haji Indonesia lainnya.
Baca: Kisah Calon Haji yang Terjebak di Filipina
Aksi para calo dengan menyasar calon jemaah haji bukan sekali ini saja terjadi. Bahkan, keberadaan calo sudah ada sejak pemberangkatan haji masih menggunakan kapal laut masa Hindia Belanda. Seperti yang dituliskan M. Shaleh Putuhena dalam
Historiografi Haji di Indonesia, mereka memanfaatkan keterdesakan jemaah haji dalam mendapatkan tiket berlayar.
"Mereka berkolusi dengan wakil Syeikh dan kepala jemaah," tulis M. Shaleh.
Baca: Kapal Laut, dan Perjuangan Calon Haji di Masa Lampau
Modus operandi yang dipakai kala itu adalah dengan menemui jemaah haji di pelabuhan transit. Dengan kapal penolong untuk mendapatkan tiket, mereka menyandera tiket dengan tebusan atau bayaran yang lebih tinggi dari harga normal.
"Sebagian jemaah terpaksa menerima tiketnya. Sebagian lainnya memilih berangkat dengan kapal berikutnya," tulis dia.
Dengan modus operandi yang hampir mirip, calo juga mendatangi jemaah haji dari Karesidenan Kedu sambil menawarkan tiket. Padahal maskapai pelayaran telah membatasi tempat yang tersedia di kapal yang akan ditumpangi. Peluang ini semakin menggiurkan para calo untuk menjerat jemaah dengan harga tiket yang jauh lebih tinggi dari biasanya.
Keleluasaan calo haji masa itu dikarenakan tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah Hindia Belanda. Jika mengacu pada Ordonansi Haji 1898, tidak akan ada satu pun ketentuan yang menyinggung prosedural pembelian tiket kapal. Ketentuan soal tiket baru muncul pada Ordonansi Haji yang dikeluarkan pada 1922. Dalam peraturan baru ini, jemaah haji diwajibkan membeli tiket hanya dari
pelgrimsagent atau agen resmi haji Hindia Belanda.
"Tiket kapal tersebut berlaku juga untuk kembali ke tempat asal pemberangkatan (retourbiljetten)," tulis M. Shaleh.
Dengan adanya agen haji, jemaah haji lebih mudah memeroleh tiket, sementara calo haji mampu dibatasi gerak-geriknya. Setiap musim haji, agen haji ditempatkan di Jeddah.
Baca: Tekad Haji Indonesia di Masa Perang
"Selain menjual tiket, agen haji yang diangkat
Departement van Marine itu juga bertanggungjawab atas pembelian tiket kapal sekali jalan namun hanya untuk ke Hijaz. Ia harus menjamin tersedianya ruangan di kapal yang sesuai jumlah tiket kapal yang terjual," tulis dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)