Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia ()

Imlek Meneguhkan Kebangsaan

16 Februari 2018 07:26
Soekarno pernah berujar bahwa peranakan Tionghoa ialah suku (kaki) Indonesia. Kala itu, pada Maret 1963, Soekarno memperjelas konsep yang pernah ia lontarkan pada 1945 tentang status orang Tionghoa dalam wadah negara Indonesia.
 
Saat menyampaikan pidato di Kongres Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia memiliki banyak kaki, serupa lipan yang memiliki kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, dan kaki peranakan Tionghoa. Kaki etnik Tionghoa ialah salah satu dari kaki-kaki kebangsaan.
 
Namun, rezim Orde Baru menafikannya. Budaya Tionghoa dikekang selama 32 tahun, hingga akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan eksistensinya. Untuk itulah, setiap kali kita merayakan Imlek, setiap itu pula ingatan mengarah pada sosok Gus Dur.
 
Presiden RI keempat ini meneguhkan penghargaan negara kepada Konghocu sebagai agama plus Hari Raya Imlek. Kini Hari Raya Imlek dirayakan “berdampingan” dengan hari raya agama-agama lain di Indonesia. Gebrakan Gus Dur itu juga menjadi tonggak bahwa demokrasi Indonesia ditegakkan, termasuk dalam relasi antaretnik dan agama. Dalam demokrasi, semua etnik, semua agama mendapat tempat terhormat karena dalam demokrasi diterapkan prinsip toleransi sebagai penghormatan pada perbedaan di antara warga.
 
Kini prinsip toleransi dan pluralisme kebangsaan itu coba diusik oleh sebagian pihak yang kerap menggaungkan politik identitas. Meningkatnya tensi politik kerap diikuti menguatnya sentimen suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
 
Dikotomi pribumi dan nonpribumi kembali menyeruak, antara lain melalui pidato politik Gubernur DKI Anies Baswedan beberapa waktu lalu. Padahal, penelitian ilmiah membuktikan nenek moyang bangsa Indonesia pendatang. Bahkan agama-agama yang diakui resmi ialah agama-agama impor dari Arab, India, Tiongkok.
 
Itu artinya sebagian besar kita ialah nonpribumi baik dari sisi etnik maupun agama. Tak layak menepuk dada sebagai pribumi tulen. Dikotomi pribumi dan nonpribumi bukan cuma tak relevan, melainkan juga ahishitoris.
 
Tidak bisa dimungkiri, dalam tahun-tahun belakangan bangsa ini dihantui bangkitnya politik identitas, suatu praktik sosial politik yang menonjolkan superioritas agama atau etnik tertentu. Kadang mereka menyelinginya dengan politik kelas, semisal kaya-miskin. Tetapi, itu sebetulnya politik identitas yang dibungkus kelas.
 
Memasuki pilkada serentak dan pemilu tahun depan, potensi ancaman politik identitas tak bisa dipandang enteng. Bukan hendak bersikap paranoid, memasang kuda-kuda untuk mencegahnya lebih baik daripada menganggap enteng tetapi politik identitas itu betul-betul terjadi. Menganggap enteng bikin kita menyesal bila ternyata yang terjadi seperti di Pilkada DKI 2017.
 
Jauhkanlah polarisasi politik yang didasari sentimen SARA. Bukan zamannya lagi ada sebutan Pribumi dan Non-Pribumi. Saat ini bukan lagi masanya memperbincangkan nasionalisme sempit.
 
Orang Tionghoa dengan segenap ajaran agama dan praktik budayanya ialah warga negara Indonesia yang secara politik dan hukum dilindungi oleh negara Di sisi lain, warga Tionghoa, juga semua warga dari semua etnik dan agama, selayaknya bergotong royong menunjukkan semangat kebangsaan yang dapat diaktualisasi dalam bentuk kesetiakawanan sosial dan keterlibatan dalam setiap sendi kehidupan bangsa.
 
Perayaan Imlek hari ini semestinya menjadi momentum untuk semakin meneguhkan komitmen kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selamat merayakan Tahun Baru Imlek 2659.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase hari raya imlek

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif