Banggai: Indarti Winari menjadi satu-satunya perempuan yang menjadi anggota dan pegiat kelompok pertanian organik Sumber Tani Lestari. Kelompok tani ini binaan JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi, di Desa Sumber Harjo, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Sumber Tani Lestari memiliki 11 orang anggota yang mengelola sawah padi organik seluas kurang lebih lima hektare. Kelompok ini dibentuk pada 2016 usai pelatihan pertanian ramah lingkungan atau agroekologi oleh JOB Tomori.
JOB Tomori memprakarsai program pertanian agroekologi karena melihat masalah di lapangan. Seperti penggunaan pupuk kimia berlebihan, hasil produksi padi konvensional rendah, tingginya penggunaan air irigasi, keterbatasan sarana produksi pertanian, tingginya biaya penanggulangan hama padi, keterbatasan sarana produksi pertanian, dan kelembagaan tani kurang optimal.
Banggai memiliki potensi berupa 93 persen luas area pertanian dan perkebunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2019, Total dari 23 kecamatan, luas sawah mencapai 51.621 hektare.
Indarti awalnya sama sekali tak tahu soal pertanian organik. Almarhum suaminya tak banyak bercerita.
"Saya waktu itu hanya matun (membersihkan rumput-rumput liar di areal persawahan) dan ngarit biasa," kata Indarti dalam keterangan tertulis, Rabu, 15 Desember 2021.
Kini, Indarti memutuskan menggarap padi di sawah seperdelapan hektare secara organik. Satu anak laki-laki dan tiga anak perempuannya tak dilibatkan karena memiliki kesibukan masing-masing.
Ia lebih banyak berdiskusi dengan adiknya. Apalagi letak sawah mereka berdampingan. Dari sini, melihat pertanian organik banyak membawa keuntungan.
"Biayanya sedikit, kerjanya ringan. Tidak perlu keluar uang untuk membeli obat kimia pembasmi hama. Obat pembasmi hama nabati dan pupuk bikin sendiri. Tidak usah beli," kata Indarti.
ngkos menggarap sawah padi secara organik jauh lebih murah dari pada pertanian konvensional. Harga padinya pun berbeda tajam. Padi biasa hanya dijual Rp7 ribu per kilogram. Sementara padi organik bisa dijual dengan harga Rp 12 ribu per kilogram.
Indarti pernah mengajak perempuan tani lainnya bergabung ke kelompoknya dan menggarap sawah dengan prinsip-prinsip budidaya organik. Namun, mereka belum berminat, karena kuantitas sawah konvensional masih jauh lebih bagus daripada sawah organik.
"Waktu saya ngobrol itu, pertanian organik cuma menghasilkan sembilan zak padi dan pertanian konvensional bisa memproduksi 16-17 zak. Satu zaknya 56 kilogram," kata Indarti.
Indarti percaya, ke depan para perempuan tani akan mau bergabung menggarap sawah secara organik. "Mereka mau ikut kalau jumlah hasilnya berimbang. Insyaallah bakal imbang, karena jumlah panen padi organik meningkat terus," katanya.
Jika Indarti berjuang menjadi salah satu perempuan penggerak pertanian ramah lingkungan di sawah, Sukesih bergerak di pekarangan. Istri Aklas, salah satu petani anggota kelompok Sumber Tani Lestari, ini memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam sayur-mayur berbasis
organik.
Ada selada, sawi pakcoi, pare, ketimun, tomat, daun bawang, bawang merah, kangkung, dan beberapa sayur lagi yang ditanam di halaman rumah Sukesih. Sukesih membudidayakan sayur-sayuran itu dengan bahan-bahan yang ada.
"Pupuk buatan Bapak (Aklas) sendiri. Pestisida saya buat dari campuran sisa-sisa sampah organik seperti sayuran, daun bawang merah, daun bawang putih, lalu saya siramkan. Kalau di pakcoy ada ulat, saya kasih mati begitu saja," katanya.
Saat ini tak banyak hama yang dihadapi di kebun. Hanya tersisa ulat bandel dalam jumlah sangat kecil dan mudah dimatikan. Sukesih mengaku semula hanya memenuhi hobi mendukung pertanian organik sang suami.
Pupuk organik tak hanya digunakan untuk menyuburkan padi di sawah tapi juga sayur. Hasilnya, Sukesih merasakan hidupnya lebih sehat setelah mengonsumsi sayur organik. Ia tak lagi mudah terserang sakit kepala.
Tak hanya memperoleh manfaat kesehatan, Sukesih juga memperoleh manfaat ekonomi. Sayur organiknya dicari banyak orang. Ada pemesan yang minta sayur itu diantar ke tempat mereka, dan ada yang datang sendiri.
Para pemesan rata-rata kalangan rumah tangga dan pengelola kafe yang menjadikan sayurnya sebagai bahan campuran burger. Setiap bulan saat ramai pembeli, Sukesih bisa memperoleh tambahan uang paling sedikit Rp 3 juta.
Community Development Officer job tomori JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi, Atma Agus Hermawan, menyebut keberadaan perempuan dan para istri dalam mendukung pertanian ramah lingkungan sangat penting. Ia pernah menemui fakta bagaimana pasangan suami-istri petani bisa berbeda pendapat soal penerapan pertanian organik.
"Pertanian organik banyak tantangannya, termasuk dari keluarga sendiri. Ada istri yang tidak mau menyapa suaminya karena tak setuju sang suami menerapkan pertanian organik. Si istri menilai pertanian organik berisiko mengurangi pendapatan dibandingkan pertanian konvensional yang lebih menjanjikan hasil panen lebih banyak," kata Atma.
Banggai: Indarti Winari menjadi satu-satunya perempuan yang menjadi anggota dan pegiat kelompok pertanian organik Sumber Tani Lestari. Kelompok tani ini binaan JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi, di Desa Sumber Harjo, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Sumber Tani Lestari memiliki 11 orang anggota yang mengelola sawah padi organik seluas kurang lebih lima hektare. Kelompok ini dibentuk pada 2016 usai pelatihan pertanian ramah lingkungan atau agroekologi oleh JOB Tomori.
JOB Tomori memprakarsai program pertanian agroekologi karena melihat masalah di lapangan. Seperti penggunaan pupuk kimia berlebihan, hasil produksi padi konvensional rendah, tingginya penggunaan air irigasi, keterbatasan sarana produksi pertanian, tingginya biaya penanggulangan hama padi, keterbatasan sarana produksi pertanian, dan kelembagaan tani kurang optimal.
Banggai memiliki potensi berupa 93 persen luas area pertanian dan perkebunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2019, Total dari 23 kecamatan, luas sawah mencapai 51.621 hektare.
Indarti awalnya sama sekali tak tahu soal pertanian organik. Almarhum suaminya tak banyak bercerita.
"Saya waktu itu hanya matun (membersihkan rumput-rumput liar di areal persawahan) dan ngarit biasa," kata Indarti dalam keterangan tertulis, Rabu, 15 Desember 2021.
Kini, Indarti memutuskan menggarap padi di sawah seperdelapan hektare secara organik. Satu anak laki-laki dan tiga anak perempuannya tak dilibatkan karena memiliki kesibukan masing-masing.
Ia lebih banyak berdiskusi dengan adiknya. Apalagi letak sawah mereka berdampingan. Dari sini, melihat pertanian organik banyak membawa keuntungan.
"Biayanya sedikit, kerjanya ringan. Tidak perlu keluar uang untuk membeli obat kimia pembasmi hama. Obat pembasmi hama nabati dan pupuk bikin sendiri. Tidak usah beli," kata Indarti.
ngkos menggarap sawah padi secara organik jauh lebih murah dari pada pertanian konvensional. Harga padinya pun berbeda tajam. Padi biasa hanya dijual Rp7 ribu per kilogram. Sementara padi organik bisa dijual dengan harga Rp 12 ribu per kilogram.
Indarti pernah mengajak perempuan tani lainnya bergabung ke kelompoknya dan menggarap sawah dengan prinsip-prinsip budidaya organik. Namun, mereka belum berminat, karena kuantitas sawah konvensional masih jauh lebih bagus daripada sawah organik.
"Waktu saya ngobrol itu, pertanian organik cuma menghasilkan sembilan zak padi dan pertanian konvensional bisa memproduksi 16-17 zak. Satu zaknya 56 kilogram," kata Indarti.
Indarti percaya, ke depan para perempuan tani akan mau bergabung menggarap sawah secara organik. "Mereka mau ikut kalau jumlah hasilnya berimbang. Insyaallah bakal imbang, karena jumlah panen padi organik meningkat terus," katanya.