Gubernur NTT Drs Frans Lebu Raya (Foto:Dok)
Gubernur NTT Drs Frans Lebu Raya (Foto:Dok)

NTT Dianggap Layak Jadi 'Surga' Garam di Indonesia

M Studio • 28 Oktober 2016 20:58
medcom.id, Kupang: Sang surya baru saja meninggalkan peraduannya. Sisa-sisa sinarnya meninggalkan remang-remang keemasan di sekitaran tambak garam Kampung Lobo Bali, di Pantai Bali, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
 
Sejumlah pekerja tambak garam seluas 170-an hektare, baik pria dan wanita, masih terlihat mengumpulkan kristal-kristal garam yang berada di dalam tambak tersebut.
 
Sementara itu, sebagian pekerja lainya sudah mulai bersiap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing karena matahari pun perlahan-lahan mulai kembali ke peraduan.

Dari kejauhan, suara para pekerja tambak tidak terdengar karena tenggelam oleh suara ombak yang memecah sepenjang garis Pantai Bali yang indah.
 
Sejauh mata memandang, hamparan pasir yang putih, air laut yang jernih dan keemasan langit sisa-sisa pancaran sang surya menambah kecantikan Pantai Bali yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
 
Paulus Imihalen (50) tampak telah selesai memanen kurang lebih 15 ton garam di satu hektare tambak tersebut. Gurat lelah tampak pada wajahnya yang legam terbakar sinar matahari.
 
Namun baginya, lelah itu terbayar setelah pada akhir bulan dirinya bersama teman-teman mendapatkan gaji masing-masing sebesar Rp1,2 juta, sesuai upah minimun regional (UMR) Provinsi Nusa Tenggara Timur.
 
"Mau lelah seperti apa pun pasti akan terbayarkan dengan gaji sebesar Rp1,2 juta per bulan," kata Paulus.
 
Paulus mengaku hidupnya benar-benar berubah setelah adanya tambak garam tersebut. Keberadaan tambak garam memberi pemasukan pasti setiap bulan bagi dirinya dan sejumlah pekerja lain.
 
Tambak garam yang dikelola Paulus dan para pekerja lainnya merupakan sebuah tambak garam milik Pemerintah Daerah Sabu Raijua yang dikelola tanpa campur tangan pengusaha.
 
"Kami senang, karena ada sumber pendapatan baru bagi kami para pekerja tambak garam di desa ini," ujar Paulus.
 
Sejumlah warga di kampung Bali tersebut pada awalnya nyaris tidak mempunyai pendapatan, terutama pada pada musim kemarau di saat semua hasil tanam dan lahan yang digarap untuk pertanian kering akibat krisis air.
 
Bila kemarau tiba, satu-satunya sumber pendapatan warga di desa itu dan sejumlah warga di desa lain di pulau Sabu hanya bergantung pada penjualan gula merah cair hasil sadapan dari pohon lontar.
 
Warga di daerah itu baru memulai mengolah lahan untuk ditanami padi dan jagung pada saat musim penghujan pun tiba.
 
Perlahan-lahan kesulitan warga di Kampung Bali tersebut mulai teratasi, setelah Pemerintah Daerah Sabu Raijua mulai berinisiatif memanfaatkan lahan pesisir pantai Bali untuk dikembangkan menjadi tambak garam.
 
Teknologi yang digunakan oleh Pemerintah Daerah Sabu Raijua untuk mengolah tambak garam tersebut adalah dengan cara Geomembran High Density Polythylene (HDPE).
 
HDPE merupakan cara yang digunakan untuk menghasilkan garam berupa sebuah lembaran yang dihamparkan pada lahan garam yang tahan air, korosi, minyak, asam, dan panas tinggi.
 
Hingga saat ini, sudah ada tiga lokasi dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Sabu. Ketiga daerah pengembangan garam itu adalah di Desa Bali, Kecamatan Sabu Timur, Desa Tulaika (Sabu Barat) dan Desa Lobo Hede (Hawu Mehara).
 
Pemasok Garam
 
Nusa Tenggara Timur memiliki potensi 'surga' garam karena didukung oleh kemarau yang berlangsung selama delapan bulan, sementara kecepatan anginnya di tempat terbuka seperti di pesisir pantai bisa mencapai 40 kilometer per jam.
 
Bahkan luas laut yang ada di NTT justru bisa dikembangkan untuk potensi tambak garam seperti yang dilakukan oleh Pemda Sabu Raijua.
 
Gubernur NTT Drs Frans Lebu Raya dalam setiap pidatonya pada setiap kegiatan selalu menyampaikan dan mengingatkan agar baik para nelayan serta petani bisa mengembangkan laut yang luas untuk tambak garam.
 
"Panas berlebihan di NTT bukan sebagai kutukan, melainkan potensi yang harus dikembangkan untuk menghasilkan garam," tuturnya.
 
"Berkat panas dan angin saat ini produksi garam kita dalam setiap bulan bisa panen empat kali dengan per hektarenya bisa mencapai 15 ton per minggu. Ini adalah panas dan angin yang membawa berkah bagi kami orang Sabu Raijua," kata Frans lagi.
 
Hingga saat ini sudah dua daerah yang sudah mengembangkan tambak garam, baik di Sabu Raijua serta di Kabupaten Kupang seluas 4.000 hektare yang dikelola oleh PT Garam Indonesia.
 
Bahkan menurut Gubernur Frans, saat ini sejumlah daerah seperti, Nagekeo, Ende, Manggarai serta Sumba juga memiliki potensi untuk pengembangan garam.
 
"Saya rasa, NTT bisa menjadi provinsi pemasok garam terbesar jika kita mau bekerja keras," kata Frans optimistis.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)


BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan