Aceh: Dalam sejarah perang Aceh, peran dan keterlibatan perempuan dalam perjuangan melawan penjajah tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam menghadapi gelombang penjajahan, kaum wanita Aceh, termasuk Cut Nyak Dhien maju ke depan untuk menjadi komando perang.
Cut Nyak Dhien, ia merupakan Pahlawan Nasional asal Aceh yang melakukan perlawanan heroik terhadap kolonialisme Belanda bersama dengan rakyat Aceh lainnya antara tahun 1873 hingga 1904. Tak hanya cantik, ia juga cerdas dalam hal strategi perang, ia pun mahir dalam bidang agama dan mampu menghafal Al-Quran.
Cut Nyak Dhien termasuk pahlawan perempuan yang tangguh dan semangat perjuangannya terus dikagumi hingga kini.
Untuk mengenal lebih jauh pahlawan perempuan asal Tanah Rencong yaitu Cut Nyak Dhien, berikut profil dan kisah awal mula hingga akhir dari perjuangannya.
Baca Juga: Ini Daftar 6 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional di Hari Pahlawan 10 November 2023
Profil Cut Nyak Dhien Keluarga Bangsawan
Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden Republik Indonesia No. 106/Tahun 1964. Ia lahir di Lampadang, Aceh Besar pada 1848. Ayahnya adalah Teuku Nanta Setia Uleebalang VI Mukim, seorang Aceh berdarah Minangkabau.
Uleebalang merupakan kepala pemerintah dalam kesultanan Aceh yang memimpin sebuah daerah atau sagoe, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang.
Ibu Cut Nyak Dhien juga berasal dari keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang terkemuka dari kemukiman Lampagar. Sebagai putri bangsawan dan putri Aceh lainnya, sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama yang diberikan oleh orang tuanya maupun guru-gurunya pada waktu itu. Dari pengaruh didikan agama yang kuat itulah, ia memiliki sifat yang tabah dan tawakal.
Menikah Muda
Menginjak usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak saudara laki-lakinya. Melalui perjodohan itu ia menikah dengan seorang pejuang Aceh yang bernama Teuku Ibrahim Lamnga, mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pada masyarakat bangsawan Aceh, perjodohan antara sesama kerabat bangsawan adalah hal yang lumrah.
Baca Juga: 3 Pahlawan Nasional Lulusan Luar Negeri, Inspiratif!
Awal Mula Cut Nyak Dhien Bergerilya
Pada tahun 1873 dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle' Taron, kemukiman Montasik, pasukan Teuku Nanta dan Teuku Ibrahim yang bermaksud mempertahankan daerahnya akhirnya harus menyingkir akibat serangan dari Belanda yang dipimpin oleh Van Der Hayden, dan berhasil menduduki daerah VI Mukim pada tahun 1875.
Akhirnya, daerah tersebut berhasil dikuasai oleh Belanda, karena Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya meninggal saat melawan belanda pada tahun 1878.
Sumpah Cut Nyak Dhien Hancurkan Belanda
Kesedihan dan kekecewaan mendalam menyelimuti hati Cut Nyak Dhien akibat ditinggal suaminya Teuku Ibrahim, ia berniat membalaskan dendamnya kepada Belanda.
Kemarahan Cut Nyak Dhien terhadap penjajah diawali dengan kematian suaminya. Hal itu yang membuatnya semakin geram dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Setelah beberapa bulan menjanda, Cut Nyak Dhien dipinang oleh Teuku Umar pada tahun 1880 yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri. Dari pernikahannya mereka memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Teuku Umar juga mempersilakan Cut Nyak Dhien ikut bertempur di medan perang. Di tangan suami keduanya, wilayah VI Mukim dapat mereka rebut kembali.
Taktik Perang Melawan Belanda
Perang dilanjutkan secara gerilya. Setelah beberapa kali Cut Nyak Dhien, suami, dan pasukannya melakukan perlawanan, sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan siasat dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat.
Akhirnya Teuku Umar beserta 250 orang pasukannya secara resmi menyatakan tunduk kepada Gubenur Belanda di Kutaraja.
Teuku Umar bersedia membantu Belanda untuk mengamankan Aceh. Karena itu Pasukannya diberi perlengakapan yang cukup. Cara yang dilakukan oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien digunakan untuk mempelajari taktik perang Belanda.
Teuku Umar diangkat sebagai panglima dengan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Selama kurang lebih 3 tahun, Teuku Umar pada tanggal 29 Maret 1896 kembali membawa pasukannya untuk bergabung dengan pejuang Aceh beserta perlengkapan persenjataan pemberian Belanda.
Mengetahui tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran "Johan Pahlawan" dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar.
Akhirnya, Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien pergi ke daerah Barat Aceh dan bertempur habis-habisan melawan Belanda. Nahas, saat perang yang terjadi pada 11 Februari 1899 membuat Teuku Umar gugur tertembak.
Saat itu, Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis ketika mengetahui ayahnya meninggal, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata, 'Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid', Itulah pesan Cut Nyak Dhien kepada anaknya.
Cut Nyak Dhien Komando Perang
Meski suaminya meninggal, Cut Nyak Dhien tidak patah semangat. Ia lalu memimpin perlawanan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh, Aceh bersama pasukan kecilnya. Sejak saat itu Cut Nyak Dhien bergerilya di usia 50 tahun.
Cut Nyak Dhien pun semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, ia terkena penyakit dan jumlah pasukannya juga terus berkurang, serta mereka kesulitan memperoleh makanan.
Hal itu membuat para pasukan-pasukannya iba. Akhirnya salah seorang anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur hingga titik darah penghabisan.
Cut Nyak Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh dengan kondisinya yang sakit. Namun, aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Sehingga ia ditangkap, sementara anaknya Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Akhir Perjuangan Cut Nyak Dhien
Setelah enam tahun bergerilya, ia akhirnya tertangkap Belanda. Kemudian Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat pada 1906 bersama tahanan politik lainnya. Ia dibawa kesana karena Belanda takut jika kehadirannya akan kembali membangkitkan semangat perlawanan rakyat Aceh.
Selama Cut Nyak Dhien di Sumedang, tentara Belanda dilarang mengungkapkan identitas tahanan. Oleh karena itu, hingga akhir hidupnya identitas Cut Nyak Dhien tidak diketahui oleh warga disana, dan Cut Nyak Dhien meninggal di sana pada 6 November 1908.
Cut Nyak Dhien lalu dijuluki sebagai “Ratu Aceh” karena tekadnya yang kuat dalam melawan kolonial Belanda di Aceh. Sepanjang masa hidupnya, Cut Nyak Dhien terus melakukan pertempuran dan perlawanan dengan tujuan menggapai cita-cita bangsa, yaitu terbebas dari kekuasaan penjajah.
Baca Juga: Ratu Kalinyamat Ditetapkan Jadi Pahlawan Nasional, Lestari Moerdijat: Hasil Perjuangan Masyarakat Jepara
Aceh: Dalam sejarah perang Aceh, peran dan keterlibatan perempuan dalam perjuangan melawan penjajah tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam menghadapi gelombang penjajahan, kaum wanita
Aceh, termasuk Cut Nyak Dhien maju ke depan untuk menjadi komando perang.
Cut Nyak Dhien, ia merupakan
Pahlawan Nasional asal Aceh yang melakukan perlawanan heroik terhadap kolonialisme Belanda bersama dengan rakyat Aceh lainnya antara tahun 1873 hingga 1904. Tak hanya cantik, ia juga cerdas dalam hal strategi perang, ia pun mahir dalam bidang agama dan mampu menghafal Al-Quran.
Cut Nyak Dhien termasuk pahlawan perempuan yang tangguh dan semangat perjuangannya terus dikagumi hingga kini.
Untuk mengenal lebih jauh pahlawan perempuan asal Tanah Rencong yaitu Cut Nyak Dhien, berikut profil dan kisah awal mula hingga akhir dari perjuangannya.
Baca Juga: Ini Daftar 6 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional di Hari Pahlawan 10 November 2023
Profil Cut Nyak Dhien Keluarga Bangsawan
Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden Republik Indonesia No. 106/Tahun 1964. Ia lahir di Lampadang, Aceh Besar pada 1848. Ayahnya adalah Teuku Nanta Setia Uleebalang VI Mukim, seorang Aceh berdarah Minangkabau.
Uleebalang merupakan kepala pemerintah dalam kesultanan Aceh yang memimpin sebuah daerah atau sagoe, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang.
Ibu Cut Nyak Dhien juga berasal dari keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang terkemuka dari kemukiman Lampagar. Sebagai putri bangsawan dan putri Aceh lainnya, sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama yang diberikan oleh orang tuanya maupun guru-gurunya pada waktu itu. Dari pengaruh didikan agama yang kuat itulah, ia memiliki sifat yang tabah dan tawakal.
Menikah Muda
Menginjak usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak saudara laki-lakinya. Melalui perjodohan itu ia menikah dengan seorang pejuang Aceh yang bernama Teuku Ibrahim Lamnga, mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pada masyarakat bangsawan Aceh, perjodohan antara sesama kerabat bangsawan adalah hal yang lumrah.
Baca Juga: 3 Pahlawan Nasional Lulusan Luar Negeri, Inspiratif!
Awal Mula Cut Nyak Dhien Bergerilya
Pada tahun 1873 dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle' Taron, kemukiman Montasik, pasukan Teuku Nanta dan Teuku Ibrahim yang bermaksud mempertahankan daerahnya akhirnya harus menyingkir akibat serangan dari Belanda yang dipimpin oleh Van Der Hayden, dan berhasil menduduki daerah VI Mukim pada tahun 1875.
Akhirnya, daerah tersebut berhasil dikuasai oleh Belanda, karena Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya meninggal saat melawan belanda pada tahun 1878.
Sumpah Cut Nyak Dhien Hancurkan Belanda
Kesedihan dan kekecewaan mendalam menyelimuti hati Cut Nyak Dhien akibat ditinggal suaminya Teuku Ibrahim, ia berniat membalaskan dendamnya kepada Belanda.
Kemarahan Cut Nyak Dhien terhadap penjajah diawali dengan kematian suaminya. Hal itu yang membuatnya semakin geram dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Setelah beberapa bulan menjanda, Cut Nyak Dhien dipinang oleh Teuku Umar pada tahun 1880 yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri. Dari pernikahannya mereka memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Teuku Umar juga mempersilakan Cut Nyak Dhien ikut bertempur di medan perang. Di tangan suami keduanya, wilayah VI Mukim dapat mereka rebut kembali.
Taktik Perang Melawan Belanda
Perang dilanjutkan secara gerilya. Setelah beberapa kali
Cut Nyak Dhien, suami, dan pasukannya melakukan perlawanan, sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan siasat dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat.
Akhirnya Teuku Umar beserta 250 orang pasukannya secara resmi menyatakan tunduk kepada Gubenur Belanda di Kutaraja.
Teuku Umar bersedia membantu Belanda untuk mengamankan Aceh. Karena itu Pasukannya diberi perlengakapan yang cukup. Cara yang dilakukan oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien digunakan untuk mempelajari taktik perang Belanda.
Teuku Umar diangkat sebagai panglima dengan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Selama kurang lebih 3 tahun, Teuku Umar pada tanggal 29 Maret 1896 kembali membawa pasukannya untuk bergabung dengan pejuang Aceh beserta perlengkapan persenjataan pemberian Belanda.
Mengetahui tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran "Johan Pahlawan" dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar.
Akhirnya, Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien pergi ke daerah Barat Aceh dan bertempur habis-habisan melawan Belanda. Nahas, saat perang yang terjadi pada 11 Februari 1899 membuat Teuku Umar gugur tertembak.
Saat itu, Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis ketika mengetahui ayahnya meninggal, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata, 'Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid', Itulah pesan Cut Nyak Dhien kepada anaknya.
Cut Nyak Dhien Komando Perang
Meski suaminya meninggal, Cut Nyak Dhien tidak patah semangat. Ia lalu memimpin perlawanan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh, Aceh bersama pasukan kecilnya. Sejak saat itu Cut Nyak Dhien bergerilya di usia 50 tahun.
Cut Nyak Dhien pun semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, ia terkena penyakit dan jumlah pasukannya juga terus berkurang, serta mereka kesulitan memperoleh makanan.
Hal itu membuat para pasukan-pasukannya iba. Akhirnya salah seorang anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur hingga titik darah penghabisan.
Cut Nyak Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh dengan kondisinya yang sakit. Namun, aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Sehingga ia ditangkap, sementara anaknya Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Akhir Perjuangan Cut Nyak Dhien
Setelah enam tahun bergerilya, ia akhirnya tertangkap Belanda. Kemudian Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat pada 1906 bersama tahanan politik lainnya. Ia dibawa kesana karena Belanda takut jika kehadirannya akan kembali membangkitkan semangat perlawanan rakyat Aceh.
Selama Cut Nyak Dhien di Sumedang, tentara Belanda dilarang mengungkapkan identitas tahanan. Oleh karena itu, hingga akhir hidupnya identitas Cut Nyak Dhien tidak diketahui oleh warga disana, dan Cut Nyak Dhien meninggal di sana pada 6 November 1908.
Cut Nyak Dhien lalu dijuluki sebagai “Ratu Aceh” karena tekadnya yang kuat dalam melawan kolonial Belanda di Aceh. Sepanjang masa hidupnya, Cut Nyak Dhien terus melakukan pertempuran dan perlawanan dengan tujuan menggapai cita-cita bangsa, yaitu terbebas dari kekuasaan penjajah.
Baca Juga: Ratu Kalinyamat Ditetapkan Jadi Pahlawan Nasional, Lestari Moerdijat: Hasil Perjuangan Masyarakat Jepara Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(ALB)