"Rencana mau menaikan harga, tapi belum kompak," ujar Turipah, salah satu perajin tempe, Rabu, 6 Januari 2021.
Belum adanya kesepakatan hingga persaingan usaha membuat para perajin tempe di lokasi sentra tersebut mengurangi jumlah produksi alih-alih menaikkan harga produk.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Turipah membeberkan, minimal merogoh Rp930 ribu setiap hari sebagai modal membeli 100 kilogram kedelai. Sebelum harga kedelai naik, ia cukup menyisihkan Rp750 ribu untuk kebutuhan kedelai dengan jumlah yang sama.
"Kalau dihitung selisih belanja modal bahan baku kedelai sudah Rp200 ribuan," ungkapnya.
Baca juga: Kasatpol PP Balikpapan dan Anggota Terpapar Covid-19
Beban semakin berat manakala ia juga harus membayar upah pekerja. Untuk mengurangi ongkos operasional, Turipah terpaksa ikut turun tangan mengolah kedelai tanpa mendapat upah layaknya pekerja.
"Usaha seperti ini sudah tidak sehat, seharusnya perajin yang ikut kerja juga dapat upah. Tapi di industri tempe, tidak. Perajin rela berkorban tenaga asal usaha berjalan dan pekerja tetap dibayar," kata dia.
Di sisi lain, Turipah juga mengeluhkan ulah sejumlah produsen tempe yang kerap menaik-turunkan harga tanpa kesepakatan. Hal ini lah yang membuat perajin lain sulit mengikuti arus, terutama terhadap mereka yang menjual murah harga produknya.
"Terkadang kalau di pasar suka banting harga. Kita kadang enggak bisa menaikkan harga di situ dan itu yang menjadi dilema buat perajin di sini," tutur dia.