Pasukan di perbatasan Ethiopia melakukan penjagaan ketat di tengah konflik di Tigray. Foto: AFP
Pasukan di perbatasan Ethiopia melakukan penjagaan ketat di tengah konflik di Tigray. Foto: AFP

PBB: Pengungsi Eritrea Banyak Dibunuh di Tigray

Fajar Nugraha • 12 Desember 2020 17:08
Addis Ababa: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merima laporan sejumlah besar pengungsi Eritrea di wilayah Ethiopia yang dibunuh. Mereka juga diculik dan dipulangkan secara paksa ke Eritrea.
 
Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) mengatakan, telah menerima sejumlah laporan ‘luar biasai’ ini. Kondisi itu terjadi sejak pertempuran di wilayah paling utara Ethiopia dimulai lebih dari sebulan lalu.
 
"Jika dikonfirmasi, tindakan ini akan merupakan pelanggaran besar terhadap hukum internasional," kata kepala UNHCR Filippo Grandi dalam sebuah pernyataan pada Jumat.

Grandi menambahkan lembaganya telah bertemu dengan beberapa pengungsi di ibu kota Ethiopia, Addis Ababa.
 
"Sangat penting bahwa pengungsi Eritrea bisa pindah ke lokasi yang aman, dan menerima perlindungan dan bantuan sedapat mungkin, termasuk di luar Tigray, mengingat peristiwa traumatis yang mereka laporkan telah mereka saksikan atau selamat," tambah, seperti dikutip Al Jazeera, Sabtu 12 Desember 2020.
 
UNHCR dan badan bantuan lainnya tidak memiliki akses ke empat kamp utama yang menampung pengungsi Eritrea -,seperti di Shimelba, Hitsats, Mai-Ayni dan Adi Harush. Semuanya berada di dalam Tigray, sejak pertempuran meletus pada awal November antara pemerintah dan bekas penguasa wilayah Tigray People's Liberation (TPLF).
 
Tentara Ethiopia telah merebut ibu kota regional Mekelle dan menyatakan kemenangan, tetapi para pemimpin TPLF mengatakan mereka melawan balik di berbagai front di sekitar kota dataran tinggi itu. Sebagian besar komunikasi di Tigray terputus dan akses ke area tersebut sangat dibatasi, sehingga sulit untuk memverifikasi pernyataan kedua belah pihak.
 
Pemimpin TPLF Debretsion Gebremichael mengatakan, dalam pesan teks kepada Reuters bulan ini bahwa tentara Eritrea telah menggerebek dua kamp di Tigray dan menculik beberapa penduduk, tetapi tidak memberikan bukti. Eritrea pun membantahnya.
 
Para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp di Ethiopia dekat perbatasan tanah air mereka berada dalam posisi yang sangat berbahaya. Orang Eritrea sering pergi untuk melarikan diri dari wajib militer, dinas militer dan penindasan yang tidak terbatas atau mencari peluang yang lebih baik dari apa yang telah lama menjadi salah satu negara paling terisolasi di dunia.
 

 
Awal pekan ini, pemerintah Ethiopia mengakui pasukan federal menembaki dan menahan sebentar pekerja PBB di wilayah Tigray, menyalahkan mereka karena mencoba mencapai daerah di mana "mereka tidak seharusnya pergi".
 
Dalam pernyataannya pada Jumat, Grandi meminta pemerintah Ethiopia untuk menerapkan langkah-langkah untuk memastikan akses yang aman bagi pekerja kemanusiaan di Tigray.
 
“Akses seperti itu sangat dibutuhkan agar kami dapat memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan untuk pengungsi dan populasi rentan lainnya,” tegas Grandi

Pengungsi kembali

Pernyataan Grandi datang beberapa jam setelah pemerintah Ethiopia mengatakan akan mengembalikan pengungsi Eritrea ke kamp Tigray. Dia  menegaskan bahwa serangan militer yang baru-baru ini diselesaikan terhadap pasukan yang setia kepada TPLF "bukanlah ancaman langsung" terhadap 96.000 pengungsi Eritrea yang terdaftar di Ethiopia.
 
Beberapa kelompok mengatakan empat staf tewas dalam pertempuran itu, setidaknya satu di sebuah kamp pengungsi. "Sejumlah besar pengungsi yang salah informasi keluar secara tidak teratur," kata pemerintah dalam sebuah pernyataan.
 
"Pemerintah dengan aman mengembalikan para pengungsi itu ke kamp masing-masing," kata pernyataan itu, menambahkan bahwa makanan telah diangkut ke kamp.
 
UNHCR tidak diberitahu tentang rencana relokasi pengungsi di Ethiopia.  Babar Baloch, juru bicara UNHCR mengatakan, kepada wartawan di Jenewa menyebut laporan itu "mengkhawatirkan".
 
"Meskipun kami tidak dapat berspekulasi saat ini, setiap refoulement sama sekali tidak dapat diterima,” ungkap Baloch, menyebut Refoulement berarti memaksa pengungsi untuk kembali ke negara asalnya.
 
Ato Addisu, wakil kepala Badan Urusan Pengungsi dan Pemulangan yang dikelola negara, mengatakan, "Kembali ke Eritrea tidak akan pernah terjadi kecuali mereka memintanya sendiri - ini melanggar hukum internasional".
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan