Abu Ibrahim al-Hashimi al-Qurashi, juga dikenal sebagai Amir Mohammed Said Abd al-Rahman al-Mawla, mengambil alih jaringan teroris dua tahun lalu setelah pendirinya Abu Bakr al-Baghdadi meledakkan dirinya dalam serangan pasukan khusus AS pada Oktober 2019.
Dianggap sebagai sosok low-profile tapi brutal, Qurashi sebagian besar terbang di bawah radar intelijen Irak dan AS. Dia mengambil alih pada saat ISIS telah dilemahkan oleh serangan pimpinan AS selama bertahun-tahun dan hilangnya ‘kekhalifahan’ yang diproklamirkan sendiri di Suriah dan Irak utara.
Baca: Pimpinan ISIS Ledakkan Diri saat Dikepung Pasukan AS.
Kementerian Luar Negeri AS memberikan hadiah USD10 juta untuk kepalanya dan menempatkannya dalam daftar "Teroris Global yang Ditunjuk Secara Khusus".
Lahir di kota Tal Afar di Irak utara dan diperkirakan berusia pertengahan 40-an, nama Qurashi mentereng di jajaran kelompok ekstremis. Jarang terjadi bagi non-Arab, yang lahir dalam keluarga Turkmenistan bisa mencapai itu.
“Menjadi tentara Irak di bawah Saddam Hussein, mendiang diktator yang digulingkan oleh invasi pimpinan AS ke Irak pada tahun 2003, Qurashi bergabung dengan barisan Al-Qaeda setelah Hussein ditangkap oleh pasukan AS pada tahun 2003,” menurut Proyek Kontra Ekstremisme (CEP), seperti dikutip AFP, Jumat 4 Februari 2022.
“Pada 2004, ia ditahan oleh pasukan AS di penjara Camp Bucca yang terkenal di Irak selatan, tempat Baghdadi dan sejumlah tokoh ISIS di masa depan bertemu,” imbuh laporan CEP.
Pembuat kebijakan brutal
Qurashi tetap berada di sisi Baghdadi saat ia mengambil kendali cabang Al-Qaeda Irak pada 2010, kemudian membelot untuk mendirikan Negara Islam Irak (ISI), kemudian Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).“Pada tahun 2014, Qurashi membantu Baghdadi menguasai kota utara Mosul,” kata CEP.
Lembaga analisis tersebut mengatakan bahwa Qurashi "dengan cepat memantapkan dirinya di antara jajaran senior pemberontak dan dijuluki 'Profesor' dan 'Penghancur'".
“Dia sangat dihormati di antara anggota ISIS sebagai ‘pembuat kebijakan brutal’ dan bertanggung jawab untuk menghilangkan mereka yang menentang kepemimpinan Baghdadi,” imbuh pihak CEP.
Baca: Pemimpin ISIS Tewas dalam Operasi AS, Biden: Ini Pukulan Telak.
Seorang analis di Universitas Sciences Po di Paris, Prancis Jean-Pierre Filiu mengatakan, dia mungkin paling dikenal karena memainkan peran utama dalam kampanye militan likuidasi minoritas Yazidi (Irak) melalui pembantaian, pengusiran dan perbudakan seksual.
Pada Kamis, Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa ‘ancaman teroris’ global telah dihapus ketika Qurashi meledakkan dirinya setelah pasukan khusus AS menyerbu tempat persembunyiannya di Suriah dalam serangan helikopter malam hari yang "sangat menantang".
Hans-Jakob Schindler, mantan pejabat PBB dan Direktur CEP, menyebut kematiannya sebagai "kemunduran besar bagi ISIS" dalam hal kehilangan pemimpin kedua, tetapi ragu itu akan menjadi pengubah permainan.
ISIS diperkirakan mempersiapkan pembunuhan para pemimpinnya dengan rencana siapa yang akan mengambil alih.
Sebaran global
Schindler mengatakan Quraishi ‘bukan pemimpin yang sangat transformasional’ karena ISIS sudah mulai beralih dari kelompok yang menguasai wilayah di Irak dan Suriah ke jaringan internasional organisasi militan di bawah Baghdadi.Tapi Filiu berpendapat bahwa pembunuhan Qurashi bisa "lebih sulit untuk diatasi" daripada Baghdadi.
“Dia adalah seorang kepala operasional sejati yang eliminasinya berisiko mencegah kebangkitan kelompok militan, setidaknya untuk sementara,” tutur Filiu.
Damien Ferre, Direktur Konsultan Jihad Analytics, mengatakan bahwa warisan Qurashi akan menjadi penguatan cabang ISIS di Afghanistan, yang semakin aktif sejak Amerika Serikat setuju pada 2020 untuk menarik pasukannya dari negara itu.
Peneliti lain juga melihat munculnya cabang ISIS di sekitar Danau Chad di Afrika barat sebagai hal yang signifikan, dengan kelompok tersebut berhasil menarik pejuang dari jajaran kelompok teror Nigeria Boko Haram.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News