“Ada lembaga pemikir, peneliti, dan spesialis yang bertujuan untuk merusak badan tersebut,” kata Mshasha kepada Middle East Eye, Kamis 22 Oktober 2020.
“Kadang-kadang mereka mencoba mempertanyakan kenetralan badan dan stafnya. Di lain pihak, mereka menyerang kurikulum yang diajarkan di sekolah lembaga tersebut, terutama di wilayah Palestina. Mengklaim bahwa itu berisi materi yang mempromosikan hasutan, kebencian, dan diskriminasi, yang tidak benar,” imbuh Mshsaha.
Menurut Mshasha, berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani dengan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), UNRWA harus menggunakan kurikulum negara tuan rumah.
Sama seperti pengungsi Palestina di Lebanon, Suriah atau Yordania yang mempelajari kurikulum negara-negara ini, pengungsi di wilayah pendudukan Palestina akan mengikuti kurikulum Otoritas Palestina.
“Karena UNRWA adalah organisasi internasional yang berkomitmen pada netralitas, jika kebetulan menemukan elemen dalam kurikulum yang tidak sesuai dengan hukum dan pedoman PBB, elemen tersebut akan dipertimbangkan kembali terlepas dari seberapa kecil mereka,” tegas Mshasha.
UNRWA menjalankan 711 sekolah di Yordania, Suriah, Lebanon dan wilayah Palestina, dengan lebih dari setengah juta siswa. Ini termasuk 238.000 siswa di Gaza, 96.000 di Tepi Barat dan 2.000 di Yerusalem Timur.
Menunjuk pada standar ganda, Mshasha menunjuk pada elemen kebencian dan diskriminasi dalam kurikulum sekolah Israel yang tidak dipertanyakan.
Lebih lanjut Mshasha juga menolak klaim Erdan bahwa gerakan bersenjata seperti Hamas menggunakan fasilitas UNRWA untuk ‘tujuan teror’. Mshasha menegaskan bahwa badan tersebut bekerja tanpa henti dengan semua pihak untuk menghormati hak istimewa dan kekebalannya dan bertindak segera ketika menangani pelanggaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News