PM Sudan Abdalla Hamdok. (AFP)
PM Sudan Abdalla Hamdok. (AFP)

PM Sudan Menyepakati Perjanjian dengan Militer Demi Mencegah Perang Saudara

Medcom • 24 November 2021 16:37
Khartoum: Abdalla Hamdok telah dibebaskan dari tahanan rumah dan kembali menjadi Perdana Menteri Sudan usai menyepakati sebuah perjanjian dengan pihak militer. Ia mengaku menyetujui hal tersebut demi "menghindari pertumpahan darah" dan "perang saudara."
 
Hamdok dan sejumlah menteri lainnya ditahan dalam kudeta militer Sudan bulan lalu, yang membuat pemerintahan transisi dibubarkan. Kudeta Sudan memicu bentrokan antara petugas keamanan dan pengunjuk rasa, yang telah menewaskan lebih dari 40 orang.
 
Selang beberapa waktu, pemimpin kudeta Sudan, Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan, mengembalikan Hamdok ke kursi kekuasaan pada akhi pekan kemarin. Langkah tersebut merupakan bagian dari kesepakatan antara kepemimpinan militer dan sipil di Sudan.

Dalam sebuah wawancara dengan CNN pada Selasa, 23 November 2021, Hamdok menyesalkan terjadinya "pertumpahan darah" yang terjadi setelah kudeta 25 Oktober. Ia menjelaskan bahwa perjanjiannya dengan militer bertujuan untuk "menghindari pembunuhan lebih lanjut."
 
"Ini bukan kepentingan pribadi bagi saya," kata Hamdok. "Ada moto yang mengatakan, anda akan mati untuk negara. Saya rasa saya telah mengambil keputusan yang tepat."
 
Berdasarkan perjanjian yang disepakati antara kubu militer dan sipil, Hamdok kembali menjadi pemimpin pemerintahan transisi di Sudan. Pemerintahan transisi ini pertama kali dibentuk tergulingnya diktator Sudan, Omar al-Bashir, pada 2019.
 
Dewan Menteri Sudan, yang dibubarkan pada 25 Oktober, akan dipulihkan, dan pemerintahan transisi akan kembali diisi jajaran tokoh sipil dan militer. Konstitusi Sudan akan diamandemen guna menguraikan kemitraan antara sipil dan militer dalam masa transisi ini.
 
Baca:  Protes Kesepakatan Politik dengan Militer, 12 Menteri Sudan Mengundurkan Diri
 
Namun, menurut pejabat Inisiatif Pasukan Nasional (NFI) Mudawi Ibrahim, perjanjian antara sipil dan militer itu meliputi restrukturisasi yang belum ditentukan dengan jelas. Ketidakjelasan ini merupakan salah satu penyebab mengapa aksi protes di Sudan belum juga berakhir.
 
 

Hari Minggu kemarin, polisi menembakkan gas air mata ke sekelompok besar pengunjuk rasa di dekat istana presiden di Khartoum.
 
Kesepakatan antara sipil dan militer ditolak koalisi Pasukan Kebebasan dan Perubahan Sudan (FCC). "Tidak ada negosiasi, tidak ada kemitraan, atau legitimasi untuk komplotan kudeta," teriak para simpatisan FCC.
 
Senin kemarin, Ibrahim mengatakan kepada CNN bahwa perjanjian tersebut "sangat memalukan bagi Perdana Menteri." Namun ia menilai PM Hamdok terpaksa menerimanya "demi keutuhan negara."
 
"Ada begitu banyak orang tewas di jalanan. Jadi, Perdana Menteri harus mengambil langkah tersebut dan bersedia menerima penghinaan," ujar Ibrahim.
 
Hamdok, yang sempat menjadi tahanan rumah, membantah telah dipermalukan. Ia bersikeras dirinya telah membuat keputusan tepat. Hamdok menyebut perjanjiannya dengan militer tidak sempurna, tetapi perlu dilakukan demi menghindari bencana.
 
"Ada kesepakatan yang sempurna dan ada juga kesepakatan yang bisa diterapkan. Jika menunggu kesepakatan sempurna, waktu menunggunya akan terlalu lama," jelas pejabat berusia 65 tahun tersebut. (Nadia Ayu Soraya)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan