Hari Minggu kemarin, polisi menembakkan gas air mata ke sekelompok besar pengunjuk rasa di dekat istana presiden di Khartoum.
Kesepakatan antara sipil dan militer ditolak koalisi Pasukan Kebebasan dan Perubahan Sudan (FCC). "Tidak ada negosiasi, tidak ada kemitraan, atau legitimasi untuk komplotan kudeta," teriak para simpatisan FCC.
Senin kemarin, Ibrahim mengatakan kepada CNN bahwa perjanjian tersebut "sangat memalukan bagi Perdana Menteri." Namun ia menilai PM Hamdok terpaksa menerimanya "demi keutuhan negara."
"Ada begitu banyak orang tewas di jalanan. Jadi, Perdana Menteri harus mengambil langkah tersebut dan bersedia menerima penghinaan," ujar Ibrahim.
Hamdok, yang sempat menjadi tahanan rumah, membantah telah dipermalukan. Ia bersikeras dirinya telah membuat keputusan tepat. Hamdok menyebut perjanjiannya dengan militer tidak sempurna, tetapi perlu dilakukan demi menghindari bencana.
"Ada kesepakatan yang sempurna dan ada juga kesepakatan yang bisa diterapkan. Jika menunggu kesepakatan sempurna, waktu menunggunya akan terlalu lama," jelas pejabat berusia 65 tahun tersebut. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News