DPR AS menuduh Trump menghasut pemberontakan dengan mendesak ribuan pendukungnya untuk berdemo di Gedung Capitol saat Kongres berkumpul untuk mengesahkan kemenangan elektoral Presiden Joe Biden.
Sembilan anggota DPR mengatakan hasutan Trump bahkan dimulai jauh sebelum 6 Januari.
"Trump menyadari musim semi lalu dia bisa kalah dalam pemilihan pada November 2020, dan ia mulai menanam benih kemarahan di antara para pendukungnya dengan mengatakan dia bisa kalah hanya jika itu (hasil kemenangan) dicuri," kata anggota DPR, Joseph Neguse, dilansir dari Channel News Asia, Kamis, 11 Februari 2021.
"Jika kita ingin melindungi republik ini dan mencegah hal tersebut terulang lagi, dia (Trump) harus dihukum," imbuhnya.
Perwakilan lainnya, Joaquin Castro juga menyebut tindakan intimidasi politik secara terang-terangan terhadap pekerja pemilihan terjadi di negara bagian di mana Trump dikalahkan. Di Philadelphia, Atlanta dan Milwaukee, kata Castro, para pendukung Trump mencoba menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengganggu penghitungan suara.
"Mereka percaya tugas mereka untuk berjuang dengan menghentikan penghitungan," seru Castro.
Kepala manajer Demokrat, Jamie Raskin menuturkan tindakan Trump mengancam ciri khas demokrasi Amerika, yakni transfer kekuasaan secara damai.
"Kasus ini bukan tentang menyalahkan orang yang tidak bersalah atas kekerasan dan kerusakan mengerikan yang terjadi pada 6 Januari," tuturnya.
"Tapi ini tentang meminta pertanggungjawaban orang yang bertanggung jawab (secara tunggal) karena menghasut serangan itu," imbuh Raskin.
Demokrat terus berjuang agar Trump mendapatkan hukuman. Mereka juga mendesak agar Trump tidak bisa mendapatkan jabatan publik lagi.
Senator Republik Ron Johnson yang adalah sekutu Trump mengatakan persidangan akan menjadi sangat membosankan. "Ini latihan politik," tuturnya.
Pada Selasa lalu, hanya enam dari 50 senator Partai Republik memutuskan kaukus mereka untuk memberikan suara bahwa persidangan dapat dilanjutkan meskipun masa jabatan Trump telah berakhir pada 20 Januari lalu.
Dalam jajak pendapat Ipsos yang dirilis Reuters pada Rabu kemarin, 47 persen responden mengatakan Trump harus dihukum. Sementara, 40 persen mengatakan Trump tidak boleh dihukum.
Persidangan di Senat ini bukan satu-satinya penyelidikan yang dihadapi Trump usai meninggalkan Gedung Putih dan kehilangan imunitas presiden yang melindunginya dari tuntutan.
Amandemen Pertama
Pengacara Trump berpendapat retorika mantan presiden dilindungi oleh jaminan kebebasan berbicara Amandemen Pertama, dan bahwa individu yang melanggar Capitol bertanggung jawab atas perilaku kriminal mereka sendiri. Mereka merasa persidangan pemakzulan itu bermotif politik."Kami benar-benar di sini karena mayoritas di DPR tidak ingin menghadapi Donald Trump sebagai saingan poltiik di masa depan," ucap Bruce Castor, salah satu pengacara Trump kepada para senator, Selasa lalu.
Masih belum jelas apakah kedua belah pihak akan menghadirkan saksi, tapi senator Demokrat, Dick Durbin mengatakan mereka memiliki banyak saksi.
"Kami memiliki banyak saksi. Kami memiliki 100 saksi yang duduk di kursi dan para senator," katanya.
Sidang Senat bisa berakhir paling cepat Sabtu atau Minggu besok. Beberapa anggota Demokrat khawatir jika persidangan yang berkepanjangan dapat menunda kemajuan dalam agenda Biden, termasuk paket bantuan virus korona (covid-19) senilai USD1,9 triliun (setara Rp2.600 triliun) yang diusulkan.
Trump adalah presiden AS pertama yang dimakzulkan dua kali. Sidang pemakzulan pertamanya dilakukan atas upayanya menekan Ukraina menyelidiki Biden, namun ia berhasil lolos karena kala itu Senat dikendalikan Partai Republik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News