Seorang pelajar asal Afrika, Jean-Jacques Kabeya mengungkapkan, penjaga perbatasan melarangnya untuk keluar dari Ukraina.
Ia dan beberapa orang asing lainnya mengatakan, perlakuan rasis oleh penjaga perbatasan dan warga Ukraina sebagai hal yang biasa mereka terima.
Dua hari setelah melarikan diri dari pengeboman di sekitar kota timur Kharkiv, Kabeya mencapai pos pemeriksaan di Shegyni, di perbatasan dengan Polandia, pada Minggu malam.
"Namun tentara dan penjaga di sana menolak kami," kata mahasiswa berusia 30 tahun yang belajar menjadi apoteker itu kepada AFP, Rabu, 2 Maret 2022.
"Mereka mengatakan kepada saya 'Anda akan tinggal di sini, Anda melarikan diri dari perang, tetap di sini; Anda akan berperang bersama kami -- Anda tidak akan pergi, apalagi Anda orang kulit hitam'," katanya.
Setelah 36 jam menunggu dengan sia-sua di perbatasan, ia kembali ke stasiun kereta di kota barat Lviv. DI sana, ia menemukan beberapa rekan senegaranya dari Republik Demokratik Kongo dan pergi dengan mereka.
"Ini bencana!" kata Kabeya sambil menambahkan bahwa dia masih berusaha mencari jalan keluar.
Ukraina adalah tujuan populer bagi mahasiswa asing, dengan puluhan ribu menuju ke sana untuk belajar.

Warga yang mengungsi keluar dari Ukraina. Foto: AFP
Tetapi mahasiswa asing lainnya di Lviv memiliki cerita serupa, dan pemerintah Nigeria dan Afrika Selatan telah menyerukan perlakuan yang lebih baik bagi warganya.
Uni Afrika mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan keprihatinan atas perlakuan sangat rasis yang diterima mahasiswa asing. Meski demikian, beberapa negara melaporkan, warganya berhasil meninggalkan negara itu.
Di pos perbatasan Shegyni, masih ada beberapa ratus orang, yang menahan dingin, mengantri dengan sabar untuk menyeberang. Mereka berasal dari Pakistan, India, Aljazair, DR Kongo, Kamerun, Ghana dan Aljazair.
Beberapa mengatakan mereka telah menghabiskan empat malam di sana, dengan suhu turun serendah minus 10 derajat Celsius.
Di sisi lain jalan ada antrean lain, disediakan untuk orang Ukraina -- terutama wanita dan anak-anak karena kebanyakan pria tetap tinggal di belakang untuk bertarung.
Mahasiswa komputer dari Pakistan, Mesum Ahmed menuturkan, antrean mereka dipisahkan. Dan antrean perempuan Ukraina serta anak-anaknya bergerak lebih cepat.
"Kita semua punya surat-surat," kata Mesum Ahmed.
"Karena kami orang asing, mereka memperlakukan kami seperti anjing," sambungnya.
Ia mengatakan tidur di trotoar selama ini. "Tapi orang Ukraina, mereka tidak peduli," sambung dia.
"Anda dapt melihat dengan baik apa yang terjadi, dan bagaimana mereka memisahkan kami dari mereka, ditambah kami (berkulit) hitam. Begitulah keadannya," sambung pelajar lainnya.
Satu-satunya bantuan yang ada adalah dari para sukarelawan setempat yang menyajikan minuman panas dan sandwich untuk mereka.
Sementara itu, layanan perbatasan Ukraina membantah ada kesulitan yang diberikan kepada pelajar asing.
"Tidak ada yang dicegah meninggalkan Ukraina," kata mereka.
Mereka juga mengaku tidak ada yang menerima keluhan terkait hal ini. Di pihak Polandia, para pejabat menegaskan bahwa siapa pun yang melarikan diri dari Ukraina akan disambut, apa pun kebangsaan mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News