Selama ini, Turki telah mengutarakan harapannya agar Uighur dapat hidup damai di Xinjiang di bawah 'satu atap' dengan Tiongkok.
"Kami akan mengirimkan sekitar 10 orang dalam satu tim ke Xinjiang," kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavugoslu, dikutip dari AFP, Rabu 31 Juli 2019.
Uighur di Xinjiang berkisar 45 persen dari total populasi di wilayah otonom tersebut. Secara budaya dan etnis, Uighur dekat dengan beberapa negara Asia Pusat, dan bahasa mereka terdengar mirip Turki.
Baca: Tiongkok Klaim Tolak Ekstremisme Uighur dengan Vokasi
Menurut Cavugoslu, permintaan mengirim tim ini berasal dari Presiden Tiongkok Xi Jinping yang mengutarakan langsung kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
"Pada 24 Juli, Kedutaan Besar Tiongkok di Ankara secara resmi menyampaikan undangan ini ke Kementerian Luar Negeri Turki, dan Presiden Erdogan telah menyetujui," ucapnya lagi.
Sejak mencuatnya isu ini, Tiongkok dianggap 'memenjarakan' Uighur di Xinjiang dengan dalih pembelajaran dan vokasi untuk memerangi ekstremisme.
Konten pelajarannya adalah bahasa Mandarin, ilmu pengetahuan hukum, keterampilan kerja dan pendidikan deradikalisasi.
Sejumlah kelompok HAM juga menuduh Tiongkok menahan jutaan Uighur karena berhaluan ekstrem, yang salah satu indikasinya adalah pernah mengunjungi satu dari 26 negara yang dianggap sensitif oleh Tiongkok. Puluhan negara itu adalah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.
Baca: Tiongkok Tolak Komisi HAM Jerman Masuk ke Xinjiang
Human Rights Watch, misalnya, yang menuding Tiongkok melarang Uighur menggunakan sapaan khas umat Islam dan harus belajar bahasa Mandarin, serta menyanyikan lagu-lagu propaganda.
Namun, pemerintah Beijing membantah laporan tersebut. Pemerintah menyangkal bahwa mereka bukan dipenjara, melainkan berada di pusat pelatihan kejuruan, salah satu inisiatif pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mobilitas sosial di Xinjiang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News