Bankir Inggris pembunuh WNI, Rurik Jutting (Foto: AFP).
Bankir Inggris pembunuh WNI, Rurik Jutting (Foto: AFP).

Kenangan WNI yang Dibunuh Bankir Inggris di Hong Kong

Arpan Rahman • 04 November 2016 09:16
medcom.id, Hong Kong: Sidang pengadilan atas bankir Inggris yang membunuh dua wanita Indonesia dan menyiksa salah satu dari mereka, termasuk merekam adegan penyiksaan selama tiga hari di teleponnya, hampir tidak terdengar di Indonesia, apalagi menimbulkan keterkejutan atau simpati. 
 
Miskin dan sengsara, bukan siapa-siapa di kota metropolitan yang canggih dan makmur jauh dari desa mereka di pulau Jawa dan Sulawesi, kedua korban dibunuh oleh pria lulusan Cambridge University berusia 31 tahun yang membual bahwa ia menghabiskan gaji setengah juta dolarnya untuk narkoba dan pelacur.
 
Bukti yang diajukan jaksa, pekan lalu, menjadi berita utama di pelbagai ibukota dunia. Tiga hari penyiksaan terhadap korban pertama, Sumarti Ningsih, dengan pemerkosaan berulang, memukul alat kelamin, memutilasi tubuhnya dengan tang dan menggorok lambat-lambat tenggorokannya dengan pisau bergerigi. Para juri membeku kaget sewaktu video telepon pintar milik terdakwa Rurik Jutting dimainkan.
 
"Saya belum pernah melihat orang takut," kata Jutting tentang Ningsih di salah satu video, kepada Associated Press, seperti dikutip The Standard, Jumat (4/11/2016).
 
"Dia akan secara sukarela makan kotoran dari toilet dan kemudian tersenyum dan berterima kasih padaku sesudahnya. Itulah ketakutannya. Dia akan melakukan apa saja,"
 
Dan, di Indonesia, reaksi hampir tidak ada.
 
Media sosial tidak bergerak. Tidak ada berita atau editorial yang marah tentang penderitaan jutaan perempuan Indonesia rentan yang diseret oleh kemiskinan untuk bekerja ke luar negeri. Siaran pun tidak tertayang, di sisi lain, menghabiskan berjam-jam liputan langsung di pengadilan Indonesia mengenai seorang wanita muda istimewa yangdituduh membunuh temannya dengan kopi mengandung sianida, diduga karena marah dan cekcok kecil soal pacar.
 
"Kami tidak menemukan dukungan dari pemerintah dan media di negara kita sendiri," sebut adik Ningsih, Suyit Khaliman. "Kami tidak mengerti, mungkin karena dia seorang pembantu atau apalah. Tidak peduli bagaimana dia bekerja bagi keluarganya, dia layak mendapat keadilan," imbuhnya. 
 
Dalam dua tahun sejak Ningsih tewas, tidak ada pihak pemerintah berhubungan dengan keluarga, kata Khaliman. Mereka mendengar sidang dimulai dari wartawan dan beberapa laporan berita daring.
 
Keluarga juga berjuang dengan nasib dan masa depan anak Ningsih, yang sekarang berusia 7 tahun.
 
Suatu hari, Khaliman mengatakan, "Anak itu akan tahu bagaimana ibunya meninggal, mungkin dari internet, dan kami khawatir tentang itu."
 
(Baca: Bunuh WNI di Hong Kong, Pelaku Tak Pernah Merasa Bersalah).

Putusan akhir di pengadilan pembunuhan Jutting diharapkan digelar pada akhir pekan ini. Dia mengaku tidak bersalah. Ningsih, 23, dan korban kedua, Seneng Mujiasih 26 tahun, merupakan salah satu dari banyak wanita Indonesia yang bekerja di luar negeri. Banyak dari mereka yang tidak berdokumen, dan rentan terhadap eksploitasi.
 
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan jumlahnya sebesar 4,3 juta pada 2012. Migrant Care, sebuah kelompok advokasi Indonesia, mengatakan sebagian besar tidak berpendidikan lebih dari sekolah dasar dan 85 persen adalah perempuan. Dikatakan bahwa komitmen pemerintah untuk meningkatkan perlindungan masih tercantum hanya di atas kertas.
 
Ningsih pernah bekerja di Hong Kong selama beberapa tahun dan dengan visa turis pada saat pembunuhan itu. Jutting telah membayarnya untuk layanan seks pada kesempatan sebelumnya. Keluarganya, meyakini Ningsih bekerja sebagai pelayan restoran.
 
Mujiasih memiliki visa kerja untuk bekerja sebagai pembantu tetapi juga bekerja di sebuah bar di mana dia bertemu Jutting yang membayarnya untuk layanan seksual. Di apartemennya, Jutting memotong leher Mujiasih.
 
Mujiharjo, 56 tahun, ayah Mujiasih, mengatakan kehidupannya sehari-hari sulit, secara emosional dan finansial, tetapi mereka mencoba untuk melanjutkan hidup. Uang yang dikirim setiap bulan telah membantu mendanai pembangunan rumah baru untuk keluarga mereka di Sulawesi Selatan, katanya.
 
Khaliman, 27 tahun, saudara Ningsih, mengatakan keluarganya terkejut setelah mengetahui dari mana sumber uang yang dikirim ke Indonesia. Tapi hal itu relatif biasa sebagai pendapatan dari industri seks demi menafkahi keluarga yang mereka tinggalkan, sungguh fakta yang tidak enak bagi warga negara Indonesia.
 
Kemenlu ikuti proses persidangan Jutting
 
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir pada Kamis 3 November mengatakan bahwa kemenlu terus mengawal perkembangan persidangan terhadap pelaku pembunuhan Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih.
 
Pihak Kemenlu juga terus menjalin komunikasi dengan pihak keluarga korban. Menurut Juru Bicara Kemenlu RI Arrmanatha Nasir, sejak awal sudah ada komunikasi dengan pihak keluarga. 
 
(Baca: Kemenlu Mengikuti Persidangan Pembunuhan 2 WNI di Hong Kong).
 
"Perkembangannya, ini kan suatu proses hukum yang terus berjalan. Kemudian, kita percaya dengan sistem hukum yang ada di Hong Kong, tetapi kita tetap mengikuti dari dekat," ujar Arrmanatha, di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta (3/11/2016).
 
"Setiap kali ada sidang (yang dijalani WNI), pasti ada wakil dari konsul kita di sana. Kita juga dari waktu ke waktu melakukan komunikasi dengan jaksanya," imbuh Arrmanatha.
 
"Jadi perkembangan itu terus kita ikuti, karena ini merupakan perhatian terhadap warga negara kita. Agar justice (keadilan) diberikan kepada warga negara kita. Jadi kita ingin memastikan hukum yang setimpal diberikan kepada tersangka ini," tegasnya.
 
Mengenai wacana kompensasi, Arrmanatha menambahkan pemerintah Indonesia melihat dalam konteks kompensasi pihaknya seberapa jauh hukum di sana bentuknya. Hukum di Hong Kong menerapkan hukum positif bukan seperti di Arab Saudi yang menerapkan hukum syariah.

 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan