Dilansir dari Yahoo News, Jumat, 26 November 2021, asap mengepul di jalan-jalan dari gedung-gedung yang terbakar pada pagi hari. Pemandangan kehancuran setelah pengunjuk rasa anti-pemerintah menyerbu ibu kota selama dua hari, beberapa membakar dan menjarah.
Baca: Kepulauan Solomon Mencekam, WNI Diimbau Tetap di Rumah.
Barisan depan pengerahan penjaga perdamaian Australia tiba di negara kepulauan Pasifik tersebut pada Kamis malam. Saat itu, kurang dari sehari setelah Perdana Menteri Solomon, Manasseh Sogavare meminta bantuan untuk memadamkan kerusuhan dan kekerasan yang mengancam akan menggulingkan pemerintahannya.
Setelah mengajukan permintaan tersebut PM Sogavare mengatakan, Kepulauan Solomon telah “telah bertekuk lutut” oleh kerusuhan tersebut.
Kerusuhan diketahui telah dipicu oleh frustasi ekonomi yang dipicu pandemi dan persaingan jangka panjang antara penduduk Pulau Malaita. Pulau dengan penduduk terpadat di negara tersebut dan pemerintah pusat yang berbasis di pulau Guadalcanal.
Menteri Dalam Negeri Canberra, Karen Andrews mengatakan, misi Australia, yang terdiri dari sekitar seratus personel polisi dan militer bertujuan untuk memulihkan hukum dan ketertiban di Kepulauan Solomon.
“Dua puluh tiga Polisi Federal Australia dikerahkan segera kemarin, mereka sudah berada di lapangan di Honiara, lebih banyak lagi akan dikerahkan hari ini, sekitar 50 lainnya,” kata Andrews kepada Sky News.
“Situasi sangat tidak stabil di sana. Saat ini kami tahu bahwa kerusuhan telah meningkat selama beberapa hari terakhir,” tambah Andrews, seraya menambahkan, pasukan akan mengamankan infrastruktur penting termasuk bandara dan pelabuhan.
Negara kepulauan berpenduduk sekitar tujuh ratus ribu orang tersebut diketahui telah dilanda ketegangan etnis dan politik selama beberapa dekade.
Kerusuhan terbaru dimulai pada Rabu, saat ribuan pengunjuk rasa mengepung parlemen. Mereka pun membakar gedung luar dan berusaha untuk menggulingkan Sogavare, yang telah menolak untuk mengundurkan diri.
Sejak itu, demonstrasi disebut telah berubah menjadi kekerasan bebas untuk semua. Gerombolan pemuda yang memegang tongkat mengamuk di ibu kota, melucuti toko barang, dan bentrok dengan polisi.
“Ada massa yang bergerak, sangat tegang,” ujar seorang warga kepada AFP, meminta untuk tidak disebutkan namanya.

Kerusuhan yang terjadi di Kepuluan Solomon. Foto: AFP
Ribuan penjarah secara terbuka menentang perintah penguncian polisi, berlarian di jalan-jalan membawa kotak, peti dan karung barang yang menggembung pada Kamis malam. Saat itu, api berderak di sekitar mereka dan gumpalan asap hitam tebal mengepul tinggi di atas kota.
Gambar yang dipublikasikan di media sosial menunjukkan, bangunan dilalap api, bagian depan toko membara dan atap bergelombang bengkok dan runtuh di ibu kota.
Berbagai puing, termasuk sampah dan ranting pohon, berserakan di jalan-jalan. Bank, sekolah, kantor polisi, dan bisnis milik orang Tiongkok dilaporkan dibakar.
Rekaman menunjukkan, orang banyak mengobrak-abrik sejumlah gedung yang masih berasap mencari sesuatu yang berharga.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Zhao Lijian menyatakan, “keprihatinan besar” dan meminta pemerintah Kepulauan Solomon “untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan warga dan organisasi Tiongkok”.
Pada akhir 1990-an, militan Guadalcanal diketahui melancarkan serangan terhadap para pemukim, terutama menargetkan yang berasal dari Malaita,dan selama lima tahun kerusuhan melanda negara tersebut.
Apa yang disebut “Ketegangan” hanya mereda dengan penyebaran misi penjaga perdamaian yang dipimpin Australia, bernama Misi Bantuan Regional ke Kepulauan Solomon (RAMSI).
Andrews mengatakan, pengerahan Australia terbaru diperkirakan akan berlangsung “dalam hitungan minggu”. Berbeda dengan misi penjaga perdamaian Canberra sebelumnya, yang berlangsung dari 2003 hingga 2017 dan menelan biaya sekitar Rp31,5 triliun.
“Tujan utama kami adalah untuk memulihkan hukum dan ketertiban umum, tentu tidak untuk campur tangan dalam masalah politik yang sedang terjadi saat ini,” jelas Andrews.
Warga Malaita tak henti mengeluh, pulau mereka diabaikan oleh pemerintah pusat. Sejak 2019, perseteruan telah disulut oleh pertikaian atas keputusan Sogavare, secara tiba-tiba memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mengakui Tiongkok.
Pihak berwenang Malaita menentang langkah tersebut dan dengan tegas mempertahankan kontak dengan pihak berwenang Taiwan. Malaita kian menerima bantuan besar dari Taiwan dan AS.
Perdana Menteri Malaita, Daniel Suidani menuduh Sogavare berada di kantong Tiongkok. Suidani menuduh Sogavare telah “meningkatkan kepentingan orang asing di atas orang-orang Kepulauan Solomon”.
“Masyarakat tidak buta akan hal ini dan tidak mau ditipu lagi,” tutur Suidani.
Para ahli mengatakan persaingan geopolitik sekarang memicu krisis. “Persaingan politik tidak memicu kerusuhan di Honiara,” ucap Pakar Pasifik di Lowy Institute Australia, Mihai Sora.
“Tetapi tindakan kekuatan besar ini sementara mereka menjilat aktor politik individu, memiliki efek destabilisasi pada negara yang sudah rapuh dan rentan,” tambah Sora. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News