Berbagai puing, termasuk sampah dan ranting pohon, berserakan di jalan-jalan. Bank, sekolah, kantor polisi, dan bisnis milik orang Tiongkok dilaporkan dibakar.
Rekaman menunjukkan, orang banyak mengobrak-abrik sejumlah gedung yang masih berasap mencari sesuatu yang berharga.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Zhao Lijian menyatakan, “keprihatinan besar” dan meminta pemerintah Kepulauan Solomon “untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan warga dan organisasi Tiongkok”.
Pada akhir 1990-an, militan Guadalcanal diketahui melancarkan serangan terhadap para pemukim, terutama menargetkan yang berasal dari Malaita,dan selama lima tahun kerusuhan melanda negara tersebut.
Apa yang disebut “Ketegangan” hanya mereda dengan penyebaran misi penjaga perdamaian yang dipimpin Australia, bernama Misi Bantuan Regional ke Kepulauan Solomon (RAMSI).
Andrews mengatakan, pengerahan Australia terbaru diperkirakan akan berlangsung “dalam hitungan minggu”. Berbeda dengan misi penjaga perdamaian Canberra sebelumnya, yang berlangsung dari 2003 hingga 2017 dan menelan biaya sekitar Rp31,5 triliun.
“Tujan utama kami adalah untuk memulihkan hukum dan ketertiban umum, tentu tidak untuk campur tangan dalam masalah politik yang sedang terjadi saat ini,” jelas Andrews.
Warga Malaita tak henti mengeluh, pulau mereka diabaikan oleh pemerintah pusat. Sejak 2019, perseteruan telah disulut oleh pertikaian atas keputusan Sogavare, secara tiba-tiba memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mengakui Tiongkok.
Pihak berwenang Malaita menentang langkah tersebut dan dengan tegas mempertahankan kontak dengan pihak berwenang Taiwan. Malaita kian menerima bantuan besar dari Taiwan dan AS.
Perdana Menteri Malaita, Daniel Suidani menuduh Sogavare berada di kantong Tiongkok. Suidani menuduh Sogavare telah “meningkatkan kepentingan orang asing di atas orang-orang Kepulauan Solomon”.
“Masyarakat tidak buta akan hal ini dan tidak mau ditipu lagi,” tutur Suidani.
Para ahli mengatakan persaingan geopolitik sekarang memicu krisis. “Persaingan politik tidak memicu kerusuhan di Honiara,” ucap Pakar Pasifik di Lowy Institute Australia, Mihai Sora.
“Tetapi tindakan kekuatan besar ini sementara mereka menjilat aktor politik individu, memiliki efek destabilisasi pada negara yang sudah rapuh dan rentan,” tambah Sora. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News