Sementara Nazari terlalu muda untuk mengingat rezim pertama Taliban, dari tahun 1996 hingga 2001, dia tahu apa yang telah mereka lakukan sejak itu.
"Satu-satunya hal yang saya tahu adalah Taliban memiliki wajah teror -- pertempuran, bom bunuh diri dan pertumpahan darah," katanya.
"Ketika Anda pergi ke sekolah atau universitas, Anda mengharapkan masa depan yang cerah, tetapi jika Taliban mengambil alih kekuasaan, harapan untuk masa depan yang cerah itu akan hilang,” ungkap Nazari.
Banyak dari mereka yang mengantre tidak tahu ke mana mereka akan pergi jika diberi kesempatan -- atau jika ada negara lain yang memberikan peluang.
Sebagian besar negara mengharuskan warga Afghanistan untuk melewati rintangan untuk mendapatkan visa, dengan sejumlah besar dokumentasi yang diperlukan bersama dengan bukti stabilitas keuangan yang hanya dimiliki sedikit orang.
Namun, semua orang ingin siap. "Hidup kami dalam bahaya, kami tidak punya pilihan," kata Sardar, 52, yang menolak disebutkan namanya karena khawatir akan nyawanya setelah bekerja sebagai penerjemah untuk kelompok masyarakat sipil Inggris.
Penerjemah untuk pasukan asing dan kedutaan sangat rentan terhadap pembalasan Taliban dan banyak negara telah mengevakuasi ribuan orang di bawah skema visa darurat.
Mantan pegawai negeri Haji Sayed Mohammad Sultani menginginkan paspor, tetapi tidak bisa membayangkan menjadi pengungsi lagi -- seperti saat rezim Taliban dan invasi Soviet serta perang saudara yang mendahuluinya.
"Selama Afghanistan layak huni, kami tidak akan meninggalkan negara kami," pungkas pria berusia 45 tahun itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News