Langkah itu memicu tuduhan dari juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut bahwa Amerika Serikat ‘sengaja meningkatkan’ situasi.
“Jika AS mengadopsi sikap konfrontatif seperti itu, DPRK akan dipaksa untuk mengambil reaksi yang lebih kuat dan pasti terhadapnya," kata juru bicara itu dalam komentar yang dibawa oleh kantor berita negara KCNA sebelumnya padaJumat.
“Ini adalah hak sah Korea Utara untuk mengembangkan senjata baru sebagai bagian dari upayanya untuk memodernisasi kemampuan pertahanan nasionalnya," ujar juru bicara itu.
Situasi mengkhawatirkan
Yang Moo-jin, seorang profesor di Universitas Studi Korea Utara, mengatakan kepada AFP bahwa waktu uji dugaan terbaru itu mengkhawatirkan."Situasi ini mengkhawatirkan. Korea Utara meluncurkan tes ini tepat setelah mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa mereka tidak akan melepaskan 'hak untuk membela diri'," ujar Yang.
"Dengan tes, mereka menunjukkan bahwa mereka benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka katakan dalam pernyataan itu. Pesannya sangat jelas. Korea Utara tidak akan menyerah apa pun terkait persenjataannya meskipun sanksi baru diberlakukan,” tuturnya.
Pada Kamis, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken meminta Korea Utara untuk duduk dalam pembicaraan dengan Amerika Serikat, yang menurutnya tidak memiliki "niat bermusuhan" terhadap rezim Kim Jong-un.
“Tes lanjutan sangat tidak stabil, berbahaya, dan bertentangan dengan seluruh resolusi Dewan Keamanan PBB," tutur Blinken dalam wawancara yang disiarkan televisi.
Pyongyang telah menolak untuk menanggapi seruan AS untuk melakukan pembicaraan.
Pada pertemuan penting partai berkuasa Korea Utara bulan lalu, Kim berjanji untuk terus membangun kemampuan pertahanan negara itu, tanpa menyebut Amerika Serikat.
Dialog antara Washington dan Pyongyang tetap terhenti, dan Korea Utara yang miskin juga berada di bawah blokade virus korona yang dipaksakan sendiri yang telah memukul ekonominya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News