Pakistan berada dalam urutan kedelapan dalam negara-negara yang dianggap paling rentan terhadap cuaca ekstrim yang disebabkan oleh
perubahan iklim, menurut laporan Indeks Resiko Iklim Global yang disusun oleh organisasi non-pemerintahan, Germanwatch.
Awal tahun ini, sebagian besar negara tengah berada dalam cengkraman gelombang panas dengan temperatur udara menginjak 51 derajat Celcius di Jacobabad, Provinsi Sindh.
Kota tersebut kini tengah berkutat dengan banjir yang telah menggenangi perumahan serta menyapu jalan-jalan dan jembatan.
Di Sukkur, sekitar 75 kilometer jauhnya, para sukarelawan menggunakan perahu di sepanjang jalan-jalan kota yang terendam oleh banjir untuk mendistribusikan makanan serta air bersih untuk orang-orang yang terperangkap di dalam rumahnya.
Kepada AFP, Pejabat Senior Kantor Meteorologi, Zaheer Ahmad Babar mengatakan bahwa hujan pada tahun ini merupakan hujan terbesar semenjak 2010, ketika 2.000 orang tewas dan lebih dari 2 juta orang diungsikan akibat hujan muson yang berhasil menenggelamkan seperlima negara tersebut.
Curah hujan di Provinsi Balochistan berada pada 430 persen lebih tinggi daripada biasanya, ujarnya, dengan menambahkan bahwa Provinsi Sindh mencapai curah hujan hampir 500 persen.
Kota Padidan di Sindh telah diguyur hujan semenjak 1 Agustus, tambah Babar.
“Peristiwa ini merupakan bencana berskala epik,” kata Rehman dengan menambahkan bahwa bencana tersebut memberikan dampak kepada 3 juta masyarakat.
Dalam sebuah pernyataan, Otoritas Pengelolaan Bencana Nasional mengatakan bahwa hampir 125.000 perumahan telah hancur dan lebih dari 288.000 lainnya rusak akibat banjir.
“Sejumlah 700.000 hewan ternak di Sindh dan Balochistan mati dan hampir 2 juta acre (sekitar 809.000 hektar) lahan pertanian telah rusak,” ujar pihak otoritas.
Hampir 3.000 kilometer jalanan juga mengalami kerusakan akibat banjir tersebut. (Gracia Anggellica)