Kekhawatiran tersebut masuk akal, mengingat pengalaman serupa di negara-negara lain. Misalnya, kematian akibat virus korona di Amerika Serikat (AS) pada kelompok 80 tahun ke atas yang tidak divaksinasi mencapai hampir tujuh kali lipat kelompok usia yang sama namun telah divaksinasi.
Pemerintah Hong Kong telah meluncurkan program vaksinasi di awal 2021, tapi gagal menghilangkan keraguan sebagian besar lansia. Para lansia takut akan efek samping vaksin atau terlena dengan rendahnya kasus covid-19 di Hong Kong.
Di kala angka kasus covid-19 di Hong Kong rendah, negara tersebut tidak juga mengalami kemajuan dalam persiapan fasilitas karantina, seperti ruang isolasi dan kapasitas rumah sakit.
Keadaan ini meningkatkan risiko kematian dibandingkan sejumah negara lain yang lebih sukses dalam melaksanakan program vaksinasi lansia.
Misalnya, persentase kematian di Korea Selatan menjadi 0,38 persen pada 20 Februari dari 0,88 persen sebulan sebelumnya. Ini disebabkan oleh tingginya tingkat vaksinasi di mana 88 persen masyarakat berusia 60 tahun ke atas telah memperoleh tiga dosis vaksin.
Memperburuk risiko yang ada, banyak lansia di Hong Kong memilih vaksin kurang efektif sebagai dosis pertamanya, yakni Sinovac Biotech Tiongkok. Padahal, vaksin RNA produksi Pfizer-BioNTech dan Moderna terbukti memiliki kemampuan lebih dalam melindungi dari varian Omicron.
Bukan menambah upaya peningkatan vaksinasi, pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan pemerintah akan melakukan tes massal covid-19.
Jean Woo, direktur Klub Joki China University Hong Kong (CUHK) menyampaikan bahwa tes massal berpotensi memperburuk situasi.
"Tidak ada tempat bagi mereka untuk duduk," kata Woo.
"Ini dingin. Ini meningkatkan risiko infeksi silang,” imbuh Woo.
Implementasi ‘nol kasus’ dalam menghadapi covid-19 Hong Kong telah mengakibatkan dampak buruk bagi fasilitas kesehatan. Rakyat Hong Kong sempat dikejutkan dengan sejumlah video pasien lansia terbaring di luar rumah sakit yang tersebar melalui media sosial.
Dr. Siddharth Sridhar, asisten profesor klinis mikrobiologi di Universitas Hong Kong, menyebut lansia yang terinfeksi virus corona harus mendapatkan penanganan cepat menggunakan obat seperti remdesivir. Tapi, krisis yang terjadi di berbagai rumah sakit mempersulit hal tersebut. (Kaylina Ivani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News