Korban merupakan warga negara Indonesia (WNI) berusia 24 tahun yang bekerja dengan Tan Hui Mei sejak November 2018. Ia ditugaskan melakukan pekerjaan rumah tangga, memasak, dan merawat putri bungsu Tan dengan gaji 600 dolar Singapura (setara Rp6,4 juta) per bulan.
Tan Hui Mei, 35, diperintahkan untuk membayar korban sebanyak 3.200 dolar Singapura (sekitar Rp34,5 juta) sebagai kompensasi. Tan mengaku bersalah atas dua dakwaan terkait kekerasan fisik terhadap ART. Tiga dakwaan lainnya sedang dalam pertimbangan hakim.
Pengadilan mengatakan bahhwa Tan tinggal bersama suami, ibu dan ketiga putrinya. Antara November 2018 hingga Maret 2019, Tan menyuruh korban memakan sepotong kapas kotor di atas meja makan.
Pada periode yang sama, ia juga menginstruksikan pembantunya untuk memakan rambut yang ada di lantai toilet. Tan melihat langsung saat korban memakan kapas kotor dan rambut di lantai toilet.
Desember 2018, korban menelepon polisi dan memberitahu bahwa majikannya telah menampar dia beberapa kali karena tidak senang dengan hasil pekerjaannya. Namun, korban memutuskan untuk kembali ke rumah Tan dan terus bekerja untuknya.
Pada 30 Maret 2019, korban memandikan dan memberi makan putri Tan yang masih balita sebelum meninggalkan anak tersebut di kamar bersama ibu dan putri kedua majikannya.
Ketika balita itu mulai menangis, korban tidak memperhatikannya karena ia mengira ibu atau putri Tan yang lain menenangkannya. Kala itu, Tan yang sedang tidur di kamarnya langsung mendatangi korban dan bertanya alasannya tidak menenangkan anak yang menangis.
Saat korban mencoba menjelaskan, Tan menampar kedua sisi wajahnya dan memukul dahinya tiga kali hingga membengkak. Korban tidak membalas dan terus melakukan pekerjaan rumah tangga.
Malam berikutnya, Tan memanggil korban ke kamar tidurnya dan mengatakan tidak bisa tidur karena kakinya sakit. Saat sedang memijat kakinya, korban tertidur.
Tan mencubit lengan korban dan menyuruhnya jangan tidur. Korban yang merasakan sakit karena dicubit tetap melanjutkan pijatan.
Korban kemudian memberitahu saudara perempuannya perihal yang terjadi padanya. Saudara perempuan korban menelepon Pusat Pekerja Rumah Tangga untuk meminta bantuan.
Polisi pergi ke rumah Tan dan membawa korban ke rumah sakit dengan luka memar di dahi dan
lengan. Ketika pertama kali diselidiki, Tan membantah melakukan pelanggaran tersebut.
Korban kini telah mendapatkan pekerjaan di majikan yang baru. Ia sempat menganggur sejak April hingga Desember 2019.
Pengacara pembela Genesa Tan pada awalnya meminta laporan masa percobaan atau denda. Ketika hakim menolak ini, dia meminta tidak lebih dari enam minggu penjara dan dana kompensasi yang lebih kecil.
"Klien saya baru kali ini melakukan pelanggaran tersebut dan hal itu benar-benar di luar karakternya," kata dia, dilansir dari Channel News Asia, Rabu, 5 Mei 2021.
Tan telah mempekerjakan pembantu rumah tangga selama lebih dari 10 tahun tanpa masalah, dan seorang mantan pembantunya menulis kesaksian tentang perlakuannya yang baik.
Tan yang tengah hamil trimester terakhir meminta untuk berbicara langsung dengan hakim. Ia mengakui kesalahannya dan meminta keringanan karena hendak melahirkan dan memiliki tiga putri lainnya, selain itu ibunya yang sakit-sakitan butuh bantuan perawatan.
"Saya hanya ingin Anda tahu, saya tahu ini salah dan keluarga membutuhkan saya. Saya juga tidak ingin melahirkan di penjara dan terpisah dari anak-anak," kata dia.
Hakim mengatakan norma hukuman untuk pelecehan pembantu rumah tangga biasanya hukuman penjara. Menurut hakim, Tan memperoleh dua dakwaan karena adanya luka fisik dan kerugian psikologis dengan memaksa pembantunya memakan kapas dan rambut.
Baca: WNI Disiksa Majikan, KBRI Desak Kemenlu Singapura Ambil Tindakan
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News