Kematian baru ini menarik reaksi cepat dan kuat dari komunitas internasional.
“Saya ngeri melihat lebih banyak nyawa yang hilang, termasuk seorang remaja laki-laki di Mandalay, karena junta yang berkuasa meningkatkan kebrutalannya di Myanmar,” kata Tom Andrews, penyelidik independen PBB untuk hak asasi manusia di negara itu, di Twitter.
“Dari meriam air hingga peluru karet hingga gas air mata dan sekarang pasukan yang mengeras menembaki pengunjuk rasa damai. Kegilaan ini harus diakhiri, sekarang!,” tegas Andrews.
Pihak berwenang terus melakukan penangkapan yang dimulai pada hari kudeta 1 Februari, ketika Aung San Suu Kyi dan anggota pemerintah ditahan. Menurut Asosiasi Bantuan independen untuk Tahanan Politik, 640 orang telah ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman, dengan 593 orang, termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, masih dalam tahanan.
Junta mengambil alih kekuasaan setelah menahan Aung San Suu Kyi dan mencegah parlemen bersidang, mengklaim pemilu November lalu dinodai oleh penyimpangan pemungutan suara. Hasil pemilu, di mana partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi menang telak, ditegaskan oleh komisi pemilu yang sejak itu digantikan oleh militer. Junta mengatakan akan mengadakan pemilihan baru dalam waktu satu tahun.
Kudeta tersebut merupakan kemunduran besar bagi transisi Myanmar menuju demokrasi setelah 50 tahun pemerintahan militer yang dimulai dengan kudeta tahun 1962.
Aung San Suu Kyi berkuasa setelah partainya memenangkan pemilu 2015, tetapi para jenderal mempertahankan kekuasaan substansial di bawah konstitusi, yang telah diadopsi di bawah rezim militer.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News