Sejumlah warga belajar membuat kerajinan tas di Rumah Pintar Tjiwi Kimia Mojokerto, Jawa Timur (Foto:Antara/Syaiful Arif)
Sejumlah warga belajar membuat kerajinan tas di Rumah Pintar Tjiwi Kimia Mojokerto, Jawa Timur (Foto:Antara/Syaiful Arif)

Made in Indonesia

Pelangi Karismakristi • 22 Juni 2016 18:04
Metrotnews.com, Jakarta: Keterampilan seni kriya kini pamornya naik daun, karena karya ini menyuguhkan bentuk yang unik dan berestetika. Selain itu, kriya atau yang juga banyak dikenal dengan sebutan handycraft ini memiliki nilai orisinilitas  dari pembuatnya. Hal ini juga yang membuat handycraft menjadi barang bernilai tinggi.
 
Adalah Ayu Larasati, perempuan 29 tahun yang sudah cukup lama menggeluti dunia handycraft dari keramik. Hasil karyanya terbuat dari tanah liat yang dia bentuk menjadi berbagai macam keramik, seperti mug atau cangkir, piring, pot, dan beraneka hiasan rumah.
 
Ciri khas handycraft buatan Ayu adalah pada pewarnaannya yang menggunakan warna-warna natural. Dia pun memiliki alasan sendiri mengapa memilih tanah liat sebagai material karya.  

"Saya mulai kuliah pada tahun kedua. Saya mulai mengenal materi yang namanya tanah liat atau clay karena kebetulan background saya di product design. Kita harus mendesain, namun kadang terpaku pada sifat jenis material tersebut, misalnya besi atau plastik. Nah kalau tanah liat sifatnya lebih fleksibel dan lentur, jad bisa bikin apa saja," terang lulusan Ontario Collage of Art and Desaign (OCAD University), di Galeri Indonesia Kaya Lantai 8 West Mall Grand Indonesia, Jakarta.
 
Lain lagi dengan Octiana Laraswati yang memilih membuat kerajinan rajutan. Dia adalah pendiri sekaligus penggagas Komunitas Rajutan Mama pada 2003. Dia belajar merajut sejak 1996 kala Oty (nama panggilan Octiana) masih kuliah semester 4. Perempuan berhijab ini mengaku kecintaannya pada kegiatan merajut berawal dari sang oma, yang setiap ke mana pun pergi membawa peralatan merajut.
 
"Merajut menyenangkan sekali bagi saya. Misalnya, di tengah keramaian, dengan kita merajut, kita benar-benar tenang dan rileks. Di situlah kita juga bisa membuat karya yang bisa dilakukan di mana saja," papar Oty.
 
Meskipun bagi sebagian orang merajut identik dengan kegiatan yang disukai kaum lanjut usia, Oty tetap melakukannya dengan senang hati. Produknya pun kini banyak diminati anak muda. Bahkan, kini dirinya kerap menyelenggarakan workshop bagi siapa saja yang ingin belajar merajut, mulai dari perempuan muda hingga dewasa.
 
"Kita mengajar start dari proyek yang paling mudah. Misalnya, membuat dompet atau tas. Mereka senang kalau belajar membuat apa yang mereka pakai. Peminat workshop sih tidak begitu banyak, paling cuma 2 atau 3 orang, namun mereka melakukan terus menerus," ucapnya.
 
Selain dua perempuan ini, ada satu pria muda yang menggeluti bisnis kriya berupa jam tangan yang terbuat dari kayu. Siapa sangka kelihaiannya melihat peluang dan berani mengambil risiko mampu membuat Yanuar Hilmawan dan temannya berhasil menciptakan inovasi eco watch atau jam ramah lingkungan dengan merek Matoa.
 
Disebut eco watch, karena Matoa memproduksi jam dengan bahan limbah kayu. Otomatis biaya produksinya jadi lebih sedikit dibandingkan menggunakan bahan seperti metal atau lainnya.
 
Ide awal pembuatannya yakni pada 2010,  Yanuar memiliki jam serupa dari USA. Dari situ keingintahuan tentang bagaimana membuat dan apa saja kelemahan serta kelebihan jam tersebut. Setelah itu, dirinya melakukan riset, dan ternyata jam kayu yang diproduksi di USA menggunakan kayu yang juga bisa didapat di Indonesia.
 
"Akhirnya, kepikiran untuk membuat jam ini. Waktu itu juga ada tantangan dari Dubes Indonesia di USA saat itu Dino Patti Djalal, yang mengajak seniman Indonesia membuat produk dari kayu seperti yang dilakukan pelaku UKM di sana," jelas Yanuar.
 
Yanuar menggunakan trik yang sering dia sebut dengan ATM (amati, tiru, modifikasi). Berbekal 'ATM' ini, kini usahanya dikenal banyak orang, apalagi penamaan produknya memakai nama tanaman asli Indonesia di Papua, yakni Matoa.
 
Semua produk Yanuar pun dinamai dengan beragam pulau di Tanah Air, sehingga dijamin eco watch ini "Indonesia banget."
 
Kini, Yanuar memiliki 35 pegawai. Padahal, semula bisnis ini hanya dihidupi dua orang saja. Meskipun dia mengaku tak memiliki basic desainer, namun keaslian produk ini terjamin.
 
"Kami sudah ada divisi research and development. Jadi sampai saat ini, desain watch asli dari mereka dan kita coba terus optimalkan," ucapnya.
 
Perlu diketahui, pembuatan eco watch ini juga ramah lingkungan, karena Yanuar memakai limbah furniture dengan berbagai jenis kayu.
 
"Jadi, jangan salah sangka Matoa melakukan perusakan alam. Kita pakai limbah furniture dan kayu pun sedikit sekali. Jadi kita tidak menebang pohon," kata Yanuar menekankan.
 
Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), para pelaku industri rumahan seperti yang tersebut di atas tentunya memiliki strategi sendiri.
 
Penasaran bagaimana upaya mereka memertahankan produk di tengah tantangan ekonomi global? Simak obrolan mereka dengan Yovie Widianto dalam IDEnesia di Metro TV pada Kamis (23/6/2016) pukul 22.30 WIB. Jangan lupa, ikuti kuis IDEnesia dan Galeri Indonesia Kaya dengan follow twitter @IDEnesiaTwit atau @IndonesiaKaya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan