Bendera Indonesia
Bendera Indonesia

Akui Keliru, LMKN Sebut Lagu Indonesia Raya Tak Perlu Bayar Royalti

Rafi Alvirtyantoro • 09 Agustus 2025 11:01
Jakarta: Masalah pembayaran royalti musik semakin menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat Indonesia. Namun banyaknya opini yang beredar membuat masyarakat semakin bingung terkait hal tersebut. 
 
Medcom.id sebagai salah satu portal media online terpercaya di Indonesia bertugas untuk menjawab pertanyaan masyarakat agar bisa memahami isu terkini dengan baik. Salah satunya adalah pertanyaan tentang, “Apakah memutar lagu ‘Indonesia Raya’ juga harus membayar royalti?”
 
Pertanyaan itu muncul karena "Indonesia Raya" sebagai lagu kebangsaan yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman kerap diputar dan dimainkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Apakah masih ada hak cipta yang terikat dengan lagu tersebut? dan bagaimana aturan penggunaannya?

Medcom.id pun mencoba untuk menghubungi perwakilan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)  yaitu Komisioner LMKN Bidang Kolekting dan Lisensi Periode 2022-2025, Yessi Kurniawan, yang dinilai mampu untuk menjawab pertanyaan tersebut pada Rabu, 6 Agustus 2025.
 
Setelah bersedia menjadi narasumber, wawancara dilakukan pada pukul 15.02 WIB di hari yang sama. Proses wawancara berlangsung dengan lancar dan Yessi Kurniawan merasa senang bisa membantu Medcom.id dalam menemukan jawaban.
 
Berikut wawancara Medcom.id dengan Yessi Kurniawan yang direkam lewat audio recorder:
 

Apakah Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” harus dibayar royalti jika diputar di tempat umum?
 
Jadi gini, sebetulnya kalau lagu-lagu kebangsaan ya, seperti mungkin yang dimaksud “Indonesia Raya” itu. Nah, itu kalau misalnya, kita kasih contoh dulu, dinyanyikan di orkestra simfoni begitu ya, dia mainkan dengan itu. Itu semua membayar melalui LMKN. Seinget saya, ahli waris dari W.R. Supratman itu memberikan kuasanya kepada yayasan Karya Cipta Indonesia, kita salurkan royaltinya ke sana. Itu dari penggunaan komersial yang seperti lagu-lagu kebangsaan yang digunakan oleh orkestra simfoni yang begitu-begitu, semua bayar.
 
Nah, pertanyaannya, pastikan bertanya, “apakah yang digunakan negara segala macam itu membayar royalti atau tidak?” Pertama, yang digunakan oleh negara ini, itu ada diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta Pasal 51. Nah, pasal 51 itu menyampaikan kepada kita semua bahwa kalau mengatur haknya pemerintah untuk melakukan pengumuman atau pendistribusian atau komunikasi satu ciptaan melalui media, radio, televisi, untuk kepentingan nasional, itu nggak usah minta izin kepada pencipta. Tapi ada kewajiban untuk memberikan imbalan.
 
Nah, memang LMKN belum menagih lembaga kementerian, belum sampai ke sana skala prioritas penagihannya. Kalau pemerintah sadar bahwa ada regulasi atau norma yang mengatur tentang masalah ini, harusnya pemerintah memberikan imbalan kepada ahli warisnya itu melalui LMKN begitu. Tetapi kita belum punya skala prioritas dalam hal luas besarnya kegiatan komersial ini, kita masih proses pelisensian kepada tempat-tempat komersial di seluruh Indonesia. Belum ada prioritas untuk menagih lembaga atau kementerian, kira-kira itu.
 
Harus mendapatkan imbalan, silakan dibaca di Pasal 51 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, jelasnya Pasal 51 itu jelas.

 

Apakah lagu nasional lainnya harus dibayar royalti?
 
Jadi, kalau lagu-lagu kebangsaan, bukan hanya “Indonesia Raya,” ada ciptaan Pak Kusbini juga. Banyak ya ciptaan lagu-lagu mars itu. Kalau misalnya setahu saya, di acara-acara kayak perayaan di 17 Agustus di istana itu ada orkestra, bernyanyi ya, itu semua bayar melalui LMKN. Jadi, kegiatan-kegiatan komersial yang menggunakan lagu-lagu kebangsaan itu, dia melakukan pelisensian melalui lembaga. Contoh yang paling tepat itu seperti perayaan 17 Agustus di istana, dicampurkan lagu-lagu daerah, lagu-lagu kebangsaan, semua kan ada tuh. Semua dilaporkan ke LMKN, dan dia bayar itu penyelenggaranya.
 

Apakah LMKN masih menyalurkan royalti lagu-lagu tersebut?
 
Ya, kalau lagu live event itu tiap bulan disalurkan oleh LMKN.
 

Apa yang bisa dilakukan untuk memastikan ekosistem royalti musik di Indonesia menjadi lebih adil dan transparan bagi semua pihak, termasuk musisi dan pemilik usaha?
 
Sekarang begini, kita kan harus mengacu pada praktik-praktik internasional. Sekarang kita semua, sebagai bangsa juga mau menghadirkan pencipta lagu kita, pelaku seni kita, semua kita hargai.
 
Lalu, pertanyaannya bagaimana tata kelolanya? Ya, tata kelolanya kita harus mengacu kepada …, menghargai profesi seperti mereka. Nah, apa yang kita lakukan? Ini sudah 30 tahun, kira mengambil benchmark dari negara-negara yang sudah maju. Kita menjalankan LMKN. LMK itu semua under super visi dari World Intellectual Property Organization. Jadi, semua yang kita jalankan ini berstandar internasional.
 
Jadi kalau pertanyaannya apa sih yang harus dilakukan? Ya, yang harus dilakukan adalah bahwa tingkat kesadaran pengguna dalam menggunakan atau memanfaatkan lagu dan musik di dalam tempat usaha diselesaikanlah izin dan membayar royaltinya melalui LMKN.
 
Nanti kita salurkan secara ini, sebetulnya harus begitu. Jadi saya pikir sudah secara tata kelola undang-undang hak cipta kita sudah comply dengan international standard dan kita tinggal menjalankan.
 
Saya harus menyatakan sudah baik. Yang belum baik itu adalah kepatuhan terhadap bagaimana menghargai karya-karya bangsa kita sendiri untuk kita mau membayar royaltinya kepada mereka melalui LMKN. Itu saja.

 
Hasil wawancara tersebut telah dipublikasikan oleh Medcom.id dengan judul LMKN: Mainkan Lagu Indonesia Raya Wajib Bayar Royalti pada 6 Agustus 2025, pukul 18.12 WIB.
 
Namun sekitar pukul 20.40 WIB, Yessi Kurniawan kembali menghubungi Medcom.id untuk memberikan klarifikasi atas pernyataannya yang keliru pada wawancara sebelumnya.

 
Untuk menghindari terjadinya misinformasi di masyarakat, kemudian Medcom.id menerima permintaan klarifikasi tersebut dan melakukan kembali wawancara bersama Yessi Kurniawan pada 6 Agustus 2025, pukul 21.39 WIB. 
 
Berikut adalah pernyataan klarifikasi dari Yessi Kurniawan tentang memainkan lagu “Indonesia Raya” harus membayar royalti, yang sempat ramai dikomentari netizen. 
 
Kutipan klarifikasi Yessi Kurniawan:
 
Jadi, saya ingin memberikan klarifikasi. Pada saat wawancara pertama itu saya mengecek ke lmknlisensi.id. Ternyata banyak lagu-lagu nasional dan termasuk lagunya W.R. Supratman yang dinyanyikan dalam sebuah acara itu membayar melalui LMKN._
 
Nah, saya agak sedikit lupa untuk mengecek daripada tanggal meninggalnya beliau. Ternyata meninggalnya itu 1938. Kalau dihitung dengan sekarang berarti itu sudah menjadi public domain. Berarti sudah tidak ada royaltinya lagi sehingga itu hanya ada hak moral ya. Jadi, hak ekonomi tidak ada. Jadi harus tetap ditulis sebagai ciptaan W.R. Supratman sebagai hak moral.
 
Tetapi di dalam pelaksanaannya, dalam prosesnya ada karya-karya rekaman ya. Ada mungkin anak-anak muda atau musisi-musisi yang suaranya cukup baik itu menyanyikan kembali dan direkam. Nah, yang patut kita lindungi adalah rekaman-rekaman baru dari karya W.R. Supratman ini, tetapi haknya hanya terdapat pada hak terkait.
 
Jadi, hanya terdapat pada hak musisinya dan hak produser rekamannya. Maksud saya adalah supaya publik tidak makin bingung ya. Kok jadi begini? Padahal niat kita baik ingin melindungi ini._
 
Kemudian untuk Yayasan Karya Cipta, tadi saya sudah cek ya. Memang hampir semua pencipta lagu nasional itu berada di KCI._
 
Tapi memang W.R. Supratman itu tidak pernah terdaftar di KCI. Dan yang terbaru tadi saya dapat informasi lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ itu karya Ismail Marzuki itu baru keluar dari KCI satu bulan yang lalu dan sedang mencari LMK yang baru. Jadi, tidak di KCI lagi._
 
Memang member ini bisa berpindah-pindah. Kuasa ini bisa pindah-pindah. Jadi ke depan harus dicek kembali apakah sudah public domain atau belum._
 
Kemudian juga harus dicek ini berada posisinya ada di mana. Tetapi nanti itu tugasnya LMKN dalam mendistribusikan. Kira-kira itu yang ingin saya perbaiki.
 
Takutnya publik jadi salah mengerti dan malah membuat gaduh ya. Nggak baik juga karena yang kita inginkan justru bagaimana kita perjuangkan tata kelola untuk menghargai para pencipta dan musisi kita di Indonesia.

 

Berarti benar ya kalau perlindungan hak cipta sampai 70 tahun setelah meninggal dunia?
 
Perlindungan hak cipta itu sampai dengan usia 70 tahun itu ada, tapi saya lupa nanti bisa kita carikan pasal-pasalnya. Tapi perlindungannya itu sampai 70 tahun setelah meninggal.
 
Jadi ketika seorang pencipta itu meninggal pada tanggal itu dia masih mempunyai hak ekonominya 70 tahun ke depan kepada ahli warisnya. Nanti pasalnya bisa saya sertakan.

 

Jadi, lagu “Indonesia Raya” sudah public domain ya?
 
Jadi, di public domain itu dimiliki oleh publik dan tidak ada perlindungan ekonominya. Hanya hak moralnya tetap melekat selamanya ditulis atas nama W.R. Supratman. Jadi public domain, semua orang boleh menggunakan tetapi tidak perlu membayar royalti kepada penciptanya._ 
 
Ketika kita merekam atau membuat sebuah rekaman baru atas karya W.R. Supratman misalnya melakukan semacam arranger baru. Itu kalau direkam tentu ada perlindungan lagi. Kalau sudah rekaman baru itu perlindungan lagi untuk musisi dan produser fonogramnya.

 

Artinya masih ada perlindungan hak ciptanya?
 
Bukan hak cipta tapi hak terkait. Jadi kalau bertindak sebagai pelaku pertunjukannya suaranya membuat kita bersemangat. Ini berarti royalti yang dimiliki itu adalah sebagai musisinya. Tetapi kemudian kalau juga bekerja sama dengan sebuah perusahaan rekaman, dan merekamnya dan menjualnya dalam bentuk macam-macam baik itu piringan hitam maupun CD itu tentu ada perlindungannya. Tetapi royalti untuk penciptanya sudah selesai karena ternyata setelah dihitung itu sudah melebihi 70 tahun.
 
Itu adalah hak-hak yang memang hak penciptanya sudah selesai. Mungkin banyak juga lagu-lagu internasional yang sudah tidak ada perlindungan hak ekonominya, tetapi memang yang kita tidak hafal itu kan kapan dia meninggal. Data yang dia meninggal karena hitungannya harus berdasarkan data beliau sudah wafat.

 

Bagaimana dengan lagu-lagu nasional lainnya? Apakah status hak cipta lagu-lagu itu juga dianggap sama?
 
Sama, berlaku juga kepada pencipta yang sudah ketika pencipta itu wafat dan sudah 70 tahun itu berlaku sistem public domain itu. Tapi sekali lagi yang harus kita pastikan itu tanggal wafatnya itu harus benar. Itu yang agak-agak data kita belum rapi.
 

Ahli warisnya pun berarti sudah tidak dalam royalti lagi ya?
 
Sudah tidak dapat lagi. Sudah tidak dapat. Sudah 0 karena sudah 70 tahun._
 
Kalau di sistem hukumnya mirip menghadap internasional. Kalau yang di luar negeri itu juga pencipta luar negeri yang sudah meninggal dia perlindungannya sudah 70 tahun._
 
Jadi, Indonesia ikut internasional. Ketika penciptanya meninggal di internasional itu diberi kesempatan 70 tahun angka perlindungan hak ekonominya. Jadi, negara Indonesia kita mengadop juga sama gitu.

 

Hasil wawancara kedua telah dipublikasikan oleh Medcom.id dengan judul Klarifikasi LMKN: Lagu Indonesia Raya Berstatus Public Domain, Tak Perlu Bayar Royalti pada 6 Agustus 2025, pukul 23.37.
 
Artikel di atas dipublikasikan sebagai bentuk dari tanggung jawab Medcom.id untuk meluruskan kekeliruan dari narasumber sehingga tidak terjadi misinformasi di masyarakat.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ASA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan