Dari kolong tempat tidur, Sinneki menongolkan kepalanya. Bocah kecil itu lantas berlari-lari. “Sinneki. Sinneki! Kenapa masih lompat-lompat. Berantakan sekali tempat tidurmu,“ ujar Ibu membuka adegan awal pementasan teater multimedia Sunset Deity suguhan Merchant of Emotion di Teater Tertutup, Dago Tea House, Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/1/2015).
Sinneki merengek. Ia meminta Ibu berdongeng. Namun, Ibu tak mengindahkan.“Aku enggak bisa tidur kalau belum mendengar dongeng, Ma,“ pintanya. “Ayo. Tidur saja. Hari sudah malam. Bukan waktunya untuk bermain lagi, Nak,“ tegas Ibu.
Lakon berdurasi 60 menit itu menggabungkan seni teater, koreografi, dan multimedia. Merchant of Emotion merupakan reinkarnasi dari Teater Epik. Teater ini pernah mementaskan Taraksa pada 2013.
Tak berapa lama, sesosok perempuan misterius, Crystal Lady, pun muncul. Sinneki seketika kaget dan ketakutan. Namun, Crystal Lady bisa mengambil hati gadis kecil itu. “Maukah aku membacakan cerita untukmu?“ tanya perempuan misterius itu, sopan.
“Aku takut. Kalau ibuku tahu ia bisa marah,“ jawab Sinneki. “Ini akan menjadi rahasia antara kita berdua,“ Crystal Lady mencoba memberikan kenyamanan. “Baiklah. Ceritakanlah. Aku akan mendengar,“ sambung Sinneki seraya memperlihatkan boneka kesayangannya.
Kehadiran Crystal Lady sesungguhnya menjadi narator. Namun, ia juga hadir memberikan sebuah penjelasan tentang lakon Sunset Deity lewat dongeng yang diwujudkan menjadi satu pementasan utuh.
Ketika ia mengisahkan tentang Sunset Deity, muncul seorang lelaki dari tengah panggung. “Sang Cipta awalnya menghadirkan laki-laki. Lalu, Dia menghadirkan bumi.Yang sampai saat ini ditakuti manusia,“ kisah Crystal Lady.
Pentas memang memiliki dua bidang ruang dalam satu panggung. Bidang pertama adalah percakapan Sinneki, Ibu, dan Crystal Lady di sisi kanan panggung.Bidang kedua, yaitu kisah dongeng yang diceritakan dihadirkan kembali lewat dialog di tengah panggung.
Lakon ini memiliki prolog dan epilog plus tujuh adegan. Ketujuhnya, yaitu Kehadiran Crystal Lady, Mula dari Segala, Lahirnya Cahaya, Senja, Harrowing Night, Cahaya Kedua, dan Perpisahan.Dongeng yang dilakonkan Pada lakon Sunset Deity, kehadiran pria remaja (Sunset) dan putri remaja (Sun) menjadi titik utama yang sedang dikisah kan Crystal Lady kepada Sinneki. Sunset dan Sun bertemu pada awal penciptaan sebelum bumi diciptakan.
Sunset masih belum memiliki pengetahuan. Untunglah, Sun hadir untuk menemani sang lelaki itu sehingga ia bisa memahami arti kehidupan. Sayang, Sun hanya bisa hadir di saat siang. Pasalnya, di malam hari Dewi Malam yang menguasai jagat raya.
“Bagaimana malam harimu,“ tanya Sun saat mereka bertemu lagi keesokan harinya. “Aku tak suka malam,“ tegasnya.“Ya, memang di malam hari, manusia sering merasa kesunyian, sendiri, dan sepi,“ tutur Sun, lugu.
Sempat akrab. Namun, Sun dan Sunset pun berpisah. Mereka merupakan makhluk yang hidup di alam berbeda.
Lakon ini mengadopsi gaya teater epik. Unsur dramaturgi begitu kuat. Ada keangkeran dan keunikan. Sutradara muda Kennya Rinonce bersama penulis naskah Sutansyah Marahakim seolah masih bermain di ranah imajinatif.
Di akhir lakon, tokoh Ibu pun muncul menuju ke tempat tidur Sinneki. Ia mendapati gadis itu belum tertidur. “Kenapa belum tidur, Sinneki,“ tanya Ibu. “Aku baru saja mendengar dongeng yang diceritakan peri,“ jawabnya. “Ah. Mana ada, peri? Itu imajinasimu saja. Ayo, tidur,“ jawab Ibu.
Di sudut jendela yang tak jauh dari tempat tidur Sinneki, Crystal Lady menutup bukunya dan berhenti mendongeng. Sambil menatap Sinneki, ia menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Stttttt! Ibu sempat heran, dan memalingkan kepala, tapi tak melihat sosok Crystal Lady.
“Lakon ini berkisah tentang penguasa waktu. Kami menghadirkan kisah epik ini karena merasa terganggu dengan film fiksi yang kurang mendidik. Kami berteater untuk menunjukkan ada pesan moral,“ pungkas Sutansyah Murahakim penulis naskah lakon ini seusai pementasan. (Media Indonesia/Iwan J Kurniawan/M-5)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News