FITNESS & HEALTH

Sejarah dan Pro Kontra Penggunaan MSG

A. Firdaus
Rabu 29 September 2021 / 15:41
Jakarta: Monosodium glutamat (MSG) atau yang dikenal dengan vetsin (mecin) merupakan salah satu bahan penguat rasa yang efektif. MSG telah digunakan selama lebih dari satu abad untuk memberikan rasa gurih (umami) yang lezat dalam makanan.

Dalam buku review MSG edisi ke-4 yang dikeluarkan Ikatan Dokter Indonesia, komponen utama MSG disusun oleh protein yang disebut asam glutamat atau glutamat. Komponen ini banyak terdapat pada makanan seperti daging, sayur-mayur, unggas dan susu.

Tubuh manusia juga menghasilkan glutamat secara alami dalam jumlah yang besar. Glutamat terdiri atas dua bentuk yaitu bebas dan terikat, dan hanya glutamat bebas yang efektif menguatkan rasa dalam makanan.

Dalam kehidupan sehari-hari, MSG banyak digunakan baik untuk rumah tangga maupun industri dan diperjualbelikan secara bebas. Konsumsi MSG di dunia terdapat secara luas pada berbagai negara seperti Tiongkok, Eropa, Amerika Serikat, Korea, Jepang, Indonesia, Thailand, dan lain-lain.

Berdasarkan survei yang dilakukan P2MI, konsumsi MSG di Indonesia mengalami peningkatan dari 100.568 ton (tahun 1998) menjadi 122.966 ton pada 2004 (diperkirakan 1,53 gram/kapita/hari). Konsumsi MSG di Indonesia terdapat pada tingkat rumah tangga, restoran atau katering, industri pengolahan dan pengepakan makanan. Konsumsi MSG terbesar digunakan oleh rumah tangga.

Pilihan untuk mengonsumsi makanan tidak hanya berdasarkan kandungan zat gizi dan kelezatannya, namun juga pada jaminan keamanannya. Sehubungan dengan luasnya konsumsi MSG, maka keamanan pangan (food safety) yang berkaitan dengan penggunaan MSG telah menjadi wacana yang penting baik bagi konsumen, pemasar, produsen, pengolah, pemerintah, dan pengecer.

Sepanjang 40 tahun terakhir, berbagai pro-kontra muncul untuk menentang penggunaan MSG dalam makanan terutama di negara Barat. Hal ini disebabkan adanya laporan dari orang-orang yang mengalami suatu reaksi setelah mengonsumsi makanan yang mengandung MSG, walaupun laporan tersebut tidak secara jelas menyebutkan penyebabnya adalah MSG.

"Kontroversi penggunaan MSG juga terjadi di Indonesia. Peningkatan kesadaran akan keselamatan pangan yang terkait dengan penggunaan MSG dalam makanan menimbulkan peningkatan perhatian konsumen atas kandungan makanan yang dikonsumsi. Akan tetapi, pengetahuan konsumen secara tepat tentang MSG masih rendah," terang buku tersebut.

"Survei yang dilakukan oleh P2MI tahun 2008 menemukan, sumber informasi dampak negatif MSG diperoleh konsumen melalui media (56 persen), keluarga dan teman (35 persen), serta dokter (9 persen)," sambungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(FIR)

MOST SEARCH