FITNESS & HEALTH

Kesehatan Jiwa Pekerja dalam Labirin Produktivitas

Medcom
Sabtu 11 November 2023 / 11:07
Jakarta: Forum Ekonomi Dunia (WEF) memprediksi tren kerugian ekonomi global akan mencapai USD1 triliun per tahun. Gangguan kesehatan jiwa pekerja menjadi penyumbang dominan tren kerugian ekonomi tersebut. 

Angka itu dihitung pada 12 miliar hari kerja produktif. Di sisi lain, setiap investasi USD600 untuk konseling dan promosi kesehatan jiwa membuat perusahaan mendapatkan 2,3 kali lebih besar return-of-investment dalam bentuk berkurangnya absensi dan penurunan klaim pembiayaan penyakit. 

Fakta dan figur kerugian ekonomi ini merupakan alegori antara keberhasilan para pemimpin dunia mempresentasikan secara prominen dengan pengabaian aktor utama penggerak dunia industri. 

Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, selaku Peneliti dan praktisi kedokteran komunitas dan kedokteran kerja dalam paparannya menjabarkan, data statistik menunjukkan pertumbuhan pesat ekonomi karena sektor industri, sementara hitung-hitungan disparitas untung-rugi akibat gangguan kesehatan jiwa pekerja, terabaikan. Ongkos ekonomi yang harus dibayar akibat gangguan kesehatan jiwa pada populasi pekerja sangatlah besar.

Hipotesis itu diperkuat laporan MoneyWatch 2022 yang menyebut kerugian finansial akibat status kesehatan jiwa yang buruk pada pekerja di Amerika Serikat mencapai USD48 miliar  dalam setahun. 

Di Inggris, Forbes melaporkan kerugian sektor industri oleh sebab yang sama mencapai Pounsterling70 miliar, untuk rentang waktu dua tahun terakhir.
 

Pengabaian



(Keterbatasan akses skrining dan diagnostik gangguan kejiwaan berbasis tempat kerja secara luas masih terjadi di seluruh dunia. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)

Kata kuncinya adalah pengabaian. Jonas Hill Mental Health Group menjelaskan terdapat sejumlah alasan mengapa isu kesehatan jiwa di tempat kerja sering diabaikan. Penyebab paling dominan karena gangguan kesehatan jiwa tidak kasat mata. 

Familiaritas gejala dan tanda seseorang mengalami gangguan jiwa sangat terbatas pada kemampuan dan kompetensi tenaga kesehatan atau non-tenaga kesehatan yang terlatih dan berpengalaman menghadapi kasus-kasus gangguan kejiwaan berbagai bentuk. 

Keterbatasan akses skrining dan diagnostik gangguan kejiwaan berbasis tempat kerja secara luas masih terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan perilaku pekerja, baik karyawan maupun buruh pabrik, yang justru menjadikan pekerjaan sebagai bentuk mekanisme kompensasi personalitas untuk mereduksi manifestasi gangguan kesehatan jiwa. 

Ini yang sering kali kita dengar dalam wujud frasa ironis “menyibukkan diri dengan pekerjaan agar tidak stres”. Menurut ahli, kondisi ini adalah bentuk jebakan burnout syndrome atau kelelahan jiwa yang paling umum pada pekerja.  
 

Prioritas pencegahan



(Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK. Peneliti Kedokteran Komunitas dan Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa. Foto: Dok. Istimewa)

Penelitian eksploratif yang dilakukan Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa di bulan Oktober 2023 juga menemukan hal serupa. Status kesehatan jiwa pada populasi pekerja di Indonesia direkomendasikan menjadi salah satu titik prioritas pencegahan dan mitigasi kesehatan. 

Studi berbasis titik temu antarsumbu ini secara spesifik mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan kerja yang tidak ramah kesehatan mental ditemukan secara luas di Indonesia. 

Ketika dilakukan analisis mendalam, studi ini mendapati dua aspek penting yang secara hipotesis menjadi sub key-drivers keseriusan masalah gangguan jiwa di tempat kerja. 

Keduanya adalah stres kerja akibat gap produktivitas dan kompetensi, serta kekurangberpihakan struktur upah yang berorientasi hasil tanpa toleransi. Poin ini sebagian besar merujuk pada aspek remunerasi buruh di Indonesia. 

Di Indonesia terdapat 50 juta pekerja di sektor industri, kebanyakan informal dan manufaktur. Sebagian besar di antaranya berada pada segmen terbawah piramida kesejahteraan dan status ekonomi. Secara tak terbantahkan, merekalah penggerak industri yang membuat neraca ekonomi negara menjadi positif. 

Pengajar Kedokteran Komunitas FKUI ini juga menyayangkan, remunerasi yang berorientasi upah dan fasilitas jaminan kesehatan tunggal melalui BPJS tidak cukup menyasar status kesehatan jiwa mereka. 

Itu sebabnya studi Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa mengamanatkan pentingnya mitigasi kesehatan jiwa pekerja secara terstruktur dan fungsional yang berorientasi skrining atau deteksi dini. 

Melengkapi sistem skrining berbasis tempat kerja, idealnya dilakukan promosi untuk mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku untuk mencegah kelelahan jiwa akibat kerja. Langkah-langkah itu harus bermuara pada konsep investasi sumberdaya manusia yang akan membalik modal menjadi profit atau keuntungan bagi perusahaan. Sistematika berpikir seperti ini harus terus di advokasi kepada manajemen dan pemilik tempat kerja. 
 

Prioritas skrining dan promosi



(APA membuktikan bila gejala awal gangguan kesehatan jiwa ditangani sejak muncul kecemasan, maka potensi sembuh total dan hidup normal bisa mencapai lebih dari 89 persen. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)

Salah satu penyebab dominan tingginya risiko gangguan kesehatan jiwa pekerja adalah lemahnya sistem deteksi dan penapisan (screening) di tempat kerja. Direktorat Kesehatan Jiwa Kemenkes RI melaporkan di tahun 2022, capaian skrining kesehatan jiwa di masyarakat hanya 9,6 persen tanpa data spesifik pada populasi pekerja. 

Dr. Ray menagatakan logika paling sederhana tentu saja semakin dini deteksi maka semakin awal penanganan sehingga semakin kecil potensi gangguan jiwa menjadi berat dan serius. 

American Psychiatric Association (APA) membuktikan bila gejala awal gangguan kesehatan jiwa ditangani sejak muncul kecemasan, maka potensi sembuh total dan hidup normal bisa mencapai lebih dari 89 persen. 

Saat ini deteksi dini gangguan kesehatan jiwa masih sangat tergantung pada kompetensi tenaga kesehatan terlatih. Itu sebabnya Perhimpunan Dokter Okupasi Indonesia (Perdoki) merekomendasikan keberadaan tenaga Keswa terlatih harus menjadi bagian terstruktur dari sistem akreditasi perusahaan. 

Strategi memperkaya kompetensi skrining awal tenaga paramedis dan staf departemen sumber daya manusia di perusahaan adalah quick-win. 

Namun keberadaan perangkat diagnosis dan skrining yang mudah digunakan bisa menjadi jalan keluar awal yang lebih menjanjikan. Ketersediaan alat skrining yang telah teruji validitasnya, seperti SRQ-20 dan dibudayakan penggunaannya di tempat kerja, menjadikan sistem alarm pekerja dan rekan kerja bisa terasah.

Secara langsung maupun tak langsung, cara itu bisa membatasi potensi diagnostik diri tidak akurat yang sekarang mudah sekali diakses lewat internet.

Kajian Mental Health in the Workplace dari Pricewater House Cooper membuktikan, setiap investasi USD600 untuk konseling dan promosi kesehatan jiwa membuat perusahaan mendapatkan 2,3 kali lebih besar return-of-investment dalam bentuk berkurangnya absensi kerja dan penurunan drastis klaim pembiayaan penyakit. 

Kajian ini lebih spesifik membuktikan, pembiayaan perusahaan terhadap penyakit terkait kardiovaskular yang berhubungan dengan status mental, turun drastis, berbarengan dengan meningkatnya anggaran konseling dan peer-support terkait kesehatan jiwa. 
 

Employee Assistant Program 



(Pendekatan Employee Assistant Program (EAP) yang mulai diperkenalkan di awal tahun 2000-an telah menghasilkan banyak praktik baik dalam memastikan pekerja tetap berada pada kondisi terbaiknya. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)

Pendekatan Employee Assistant Program (EAP) sudah semakin populer diterapkan di perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, terutama pada perusahaan penanaman modal asing.

Metode EAP yang mulai diperkenalkan di awal tahun 2000-an telah menghasilkan banyak praktik baik dalam memastikan pekerja tetap berada pada kondisi terbaiknya untuk produktif tanpa perlu mengorbankan status kesehatan jasmani dan rohaninya. 

Dalam Human Resources Inside Summit 2023 sejumlah eksekutif HRD menampilkan begitu banyak keberhasilan program EAP yang semakin fokus menyasar aspek kesehatan jiwa pekerja, dan secara terang-terangan mengadvokasi pemerintah agar memasukkan EAP sebagai salah satu indeks primer untuk evaluasi perizinan perusahaan. 

Secara sederhana, EAP adalah program yang dirancang untuk memfasilitasi dan membantu pekerja mengidentifikasi berbagai masalah pribadi dan pekerjaan yang memengaruhi kesejahteraan mereka, serta memberikan strategi kunci mengatasi masalah tersebut agar tidak berdampak pada kinerja dan produktivitas mereka. 

Keunikan dan keunggulan imperatif dari EAP yang telah terbukti secara ilmiah terletak pada lima aspek kunci, yaitu:

(1) Keamanan dan Kerahasiaan. Hal ini sangat krusial dalam ranah kesehatan jiwa, mengingat stigma dan diskriminasi masih sangat kental dialami para penderita gangguan kesehatan jiwa di Indonesia.

(2) Pendekatan Holistik, di mana pekerja di evaluasi status kesehatan jiwanya tidak hanya terkait hal yang berhubungan dengan pekerjaan, tetapi juga menyasar matriks kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial.

(3) Fleksibilitas dan Aksesibilitas yang Prima. Ini adalah salah satu pilar kunci dalam EAP yang terbukti memberi tingkat keberhasilan yang signifikan bagi kesehatan jiwa pekerja.

(4) Prinsip Utama pada Pencegahan, dengan memfokuskan investasi pada skrining, deteksi dini dan aktivasi self-awarenes sehingga pekerja memiliki kemandirian untuk membangun sikap diri positif dalam pekerjaan.
 
(5) Dukungan Tim Kompeten, minimum requirement adalah psikolog klinis atau psikolog okupasi, dilengkapi dengan sistem rujukan berjenjang pada rumah sakit terdekat bila ada kasus letupan emosi psikologis yang serius di tempat kerja. 

Meskipun sudah banyak perusahaan yang menerapkan EAP, terdapat beberapa perusahaan yang secara kualitatif dianggap unggul dalam bidang ini. Program Healthtitude Beware adalah program EAP yang juga terbukti sangat efektif dan mudah diaplikasikan pada setting tempat kerja yang beragam.

Sejatinya kesehatan jiwa merupakan salah satu modal utama individu, termasuk pekerja, dalam menyajikan esensi diri, berupa kinerja dan produktivitas yang sehat tanpa mengompensasi status fisik dan mental.

Konsep produktivitas kerja tak hanya boleh diukur dari berapa tinggi rating work-performance atau besaran maksimal upah buruh per minggu. Lebih dari itu, produktivitas harus secara menyeluruh dikalkulasikan sebagai luaran kompleks antara output aktivitas kerja dan outcome kebahagiaan. 

Mendefinisikan ulang konsep produktivitas kerja dengan mengintegrasikan kesehatan jiwa adalah suatu keniscayaan, meski butuh waktu. Mungkin kesehatan jiwa pekerja masih tersimpan di dalam labirin produktivitas dan kinerja sektor industri yang harus dibimbing keluar agar muncul dan terlihat dalam satu jiwa yang sama, yaitu manusia yang sehat, bahagia, dan bermanfaat bagi dirinya dan orang di sekitarnya.

Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK
Peneliti Kedokteran Komunitas dan Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(TIN)

MOST SEARCH