FITNESS & HEALTH

Psikolog Ungkap Alasan Orang Dewasa Masih Jadi Pembully

Aulia Putriningtias
Rabu 22 Oktober 2025 / 17:11
Jakarta: Kasus bunuh diri atas bullying dari mahasiswa Universitas Udayana, Timothy Anugerah Saputra, memberi perhatian banyak orang. Warganet tak sedikit bertanya-tanya pelaku bully yang sudah dewasa tetap membully. 

Pada orang dewasa, setidaknya sudah mengetahui baik dan buruk suatu hal. Namun, apa motif sebenarnya dari seorang pembully yang sudah menginjak usia dewasa?

Psikolog Jovita Maria Ferliana, M. Psi., Psi. menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi. Menurutnya, ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas hal ini.

"Pertama, banyak pelaku bullying dewasa itu sebenarnya menggunakan perilaku agresif sebagai cara melindungi harga diri yang rapuh. Mereka menyerang orang lain itu agar tidak merasa lemah, tidak berharga, atau tidak kalah," ungkap Psikolog Jovita kepada tim Medcom.id, Selasa, 21 Oktober 2025.
Kedua, seseorang menjadi pelaku bully bisa karena orang yang pernah mengalami penolakan, kekerasan, atau bullying di masa kecil. Hal ini kadang yang membuat mengulang pola yang sama di masa dewasa.

"Sebenarnya bukan karena ingin jahat sih tapi karena belum memproses luka tersebut secara sehat," tambahnya.

Selanjutnya ada beberapa kemungkinan lainnya. Seperti kebutuhan kekuasaan dan kontrol, faktor lingkungan, dan tidak benar-benar mengenal dampak emosional yang ditimbulkan.

Selain itu, tak jarang juga pelaku bully memiliki masalah kesehatan mental. Mulai dari gangguan kepribadian seperti narsistik, rendahnya regulasi emosi, dan juga pola asuh orang tua saat kecil.

"Bisa juga karena waktu dulu masa kecilnya itu dia mendapatkan pola asu yang otoriter dan keras. Jadi, anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang keras penuh hukuman dan minimal empati itu sering belajar bahwa kekuasaan dan kekerasan itu adalah cara untuk mendapatkan kendali," jelasnya.
 

Apakah pelaku bully dewasa bisa disembuhkan?


Sebagai orang dewasa, sudah sepatutnya untuk lebih mengerti sikap yang baik. Namun, bagi pelaku bully, orang-orang menganggap bahwa ini tidak bisa disembuhkan, apakah benar?

Psikolog Jovita pun menekankan bahwa pelaku bully dewasa bisa disembuhkan. Namun, ia mengatakan bukan hanya menekan perilaku, tetapi juga menyembuhkan sumbernya.

"Orang dewasa yang menjadi pembully tidak selamanya akan menjadi pembully. Perilaku itu bisa berubah jika disadari, dipahami akar penyebabnya dan diusahakan untuk diperbaiki oleh orang yang bersangkutan," papar Jovita.

"Karena kalau dia tidak sadar, sampai kapanpun dia tidak akan bisa melakukan tahap-tahap selanjutnya untuk penyembuhan. Jadi pertama itu memang harus sadar dulu bahwa perilaku itu memang salah dan menyakiti orang lain," sambungnya.

Selain menyadari perilakunya, pelaku bully juga perlu untuk bertanggung jawab tanpa menyalahkan masa lalu. Kemudian, belajar empati dan harus belajar meregulasi emosi dan mengontrol emosi. 

Selanjutnya adalah membangun pola komunikasi baru yang lebih penuh respek ke orang lain. Dan terakhir, mendapatkan dukungan, baik dari sesi terapi psikologis yang diikuti, kelompok refleksi diri, atau dari teman, orang tua, atau pasangan yang suportif.
 

Bagaimana cara kita melindungi korban bully?


Menurut Psikolog Jovita, sebagai orang dewasa, kita perlu mengenali apa itu bentuk bully. Karena seringkali bullying pada orang dewasa terselubung dalam bentuk sindiran, ejekan berulang, pengucilan sosial, atau merendahkan orang lain di depan publik. 

"Jadi, sadari bahwa itu bukan candaan. Kalau itu perilaku sudah berulang atau intens, maka termasuk dalam kategori bullying," ungkapnya.

Kemudian, jika bisa diintervensi langsung, maka lakukan. Bisa melalui bicara secara langsung atau dengan memberi pesan ketikan. Lalu jangan lupa untuk mendukung korban selalu.

"Kalau misalnya kita nggak bisa negur pelaku di tempat, maka temui aja si korban setelah kejadian. Katakan misalnya hal seperti ini, saya melihat tadi kamu diperlakukan tidak adil, kamu nggak sendirian," jelas Psikolog Jovita.

Kemudian, sebaiknya dilaporkan kepada yang berwewenang. Misalnya pada lingkup kampus, bisa laporkan ke dekan. Ditambah bukti seperti waktu kejadian atau rekaman juga lebih baik.

Untuk diri sendiri, Psikolog Jovita menekankan kita bisa menjadi agen perubahan kecil. Mulai dari tidak menyebar gosip, tidak ikut nyedir-nyedir orang lain, tidak juga ikut-ikutan ngata-ngatain orang lain yang negatif.

Kita juga perlu tunjukkan cara berinteraksi yang baik dengan cara kita menghargai orang lain dan empati. Dan juga kita boleh mengingatkan lingkungan tentang pentingnya batasan dan rasa hormat. 

Jangan kita menjadi bystander, yakni orang yang melihat atau mengetahui perilaku itu, tetapi diam saja. Efeknya itu akan membuat si pelaku itu akan terus melancarkan aksinya.

"Jadi, kita jangan jadi bystander, kita harus bisa menunjukkan bahwa kita itu berguna atau berdaya, gitu, dengan cara yang tadi sudah saya sebutkan," tutur Psikolog Jovita.

"Ingat bahwa bullying tidak berhenti dengan diam. Kadang, satu suara berani bisa membuat lingkungan jadi lebih aman dan manusiawi," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)

MOST SEARCH