FITNESS & HEALTH
Data Kemenkes: 5,6 Persen Anak Sekolah di DKI Jakarta Pembawa Sifat Talasemia
Aulia Putriningtias
Selasa 07 Mei 2024 / 19:10
Jakarta: Survei terkait talasemia di DKI Jakarta dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Hal itu dibeberkan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) dr. Eva Susanti.
Kemenkes RI melakukan skrining acak di 21 sekolah DKI Jakarta untuk melihat gambaran awal sebaran kasus. Hasilnya, lebih dari 5,6 persen anak di sekolah tersebut merupakan pembawa talasemia.
"Kemenkes RI juga sudah melakukan uji coba pelaksanaan skrining pembawa sifat pada anak sekolah di 21 sekolah DKI Jakarta dan ditemukan sekitar 5,6 persen anak sekolah yang di-skrining tersebut pembawa sifat talasemia," kata dr. Eva dalam temu media Hari Talasemia Sedunia, Selasa, 7 Mei 2024 secara daring.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen dari total kasus global talasemia mayor disumbang negara berkembang atau negara dengan penghasilan menengah ke bawah. Salah satunya adalah Indonesia.
Talasemia sendiri merupakan penyakit kelainan darah yang diturunkan oleh kedua orang tua kepada anak mereka. Pembawa sifat talasemia di dunia diperkirakan mencapai 7 hingga 8 persen. Setiap tahun lebih dari 300 hingga 500 ribu anak lahir dalam kondisi tersebut.
Baca juga: Pasangan Pranikah, Penting Lho Deteksi Dini Talasemia!
Jika berbicara tentang talasemia mayor di Indonesia, pembawa sifat talasemia beta sendiri mencapai hingga 10 persen. Sementara itu, pembawa sifat talasemia alpha atau tercatat lebih banyak, yakni 11 persen.
"Estimasi 2.500 bayi lahir dengan talasemia beta mayor setiap tahun," ungkap dr. Eva.
Angka yang tak bisa dianggap remeh ini pun juga menjadi perhatian bagi Kemenkes. Beban yang dihadapi pun juga berhubungan dengan minimnya pengetahuan masyarakat terakit talasemia yang bisa menyerang keturunan.
Masyarakat sejatinya perlu mengetahui gejala talasemia. Mulai dari pusing, kulit pucat atau kuning, perubahan bentuk wajah, pusing berputar, gangguan pertumbuhan, mudah sakit, sesak napas, dan urine berwarna gelap.
Dr. Eva pun mengimbau kepada masyarakat untuk mencoba melakukan skrining guna mencegah terjadinya keturunan talasemia. Karena penyakit ini memang tidak bisa disembuhkan, tetapi dapat dicegah.
"Menghindari pernikahan sesama pembawa sifat, deteksi dini pada populasi tertentu, cukup dilakukan sekali seumur hidup, sehingga kita bisa mencegah kelahiran bayi talasemia mayor pada kemungkinan 50 persen pembawa sifat talasemia mayor," jelasnya.
Sementara itu, pada 8 Mei setiap tahunnya, diperingati sebagai Hari Talasemia Sedunia. Pada tahun ini, membawa tema 'Empowering Lives, Embracing Progress: Equitable and Accessible Thalassemia Treatment for All'.
Tema ini mengangkat bahwa seluruh pengidap talasemia, termasuk anak-anak, berhak mendapatkan terapi untuk memperpanjang hidup mereka. Pun, menjadi kesadaran untuk mengedukasi masyarakat pentingnya mengetahui efek talasemia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Kemenkes RI melakukan skrining acak di 21 sekolah DKI Jakarta untuk melihat gambaran awal sebaran kasus. Hasilnya, lebih dari 5,6 persen anak di sekolah tersebut merupakan pembawa talasemia.
"Kemenkes RI juga sudah melakukan uji coba pelaksanaan skrining pembawa sifat pada anak sekolah di 21 sekolah DKI Jakarta dan ditemukan sekitar 5,6 persen anak sekolah yang di-skrining tersebut pembawa sifat talasemia," kata dr. Eva dalam temu media Hari Talasemia Sedunia, Selasa, 7 Mei 2024 secara daring.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen dari total kasus global talasemia mayor disumbang negara berkembang atau negara dengan penghasilan menengah ke bawah. Salah satunya adalah Indonesia.
Talasemia sendiri merupakan penyakit kelainan darah yang diturunkan oleh kedua orang tua kepada anak mereka. Pembawa sifat talasemia di dunia diperkirakan mencapai 7 hingga 8 persen. Setiap tahun lebih dari 300 hingga 500 ribu anak lahir dalam kondisi tersebut.
Baca juga: Pasangan Pranikah, Penting Lho Deteksi Dini Talasemia!
Jika berbicara tentang talasemia mayor di Indonesia, pembawa sifat talasemia beta sendiri mencapai hingga 10 persen. Sementara itu, pembawa sifat talasemia alpha atau tercatat lebih banyak, yakni 11 persen.
"Estimasi 2.500 bayi lahir dengan talasemia beta mayor setiap tahun," ungkap dr. Eva.
Angka yang tak bisa dianggap remeh ini pun juga menjadi perhatian bagi Kemenkes. Beban yang dihadapi pun juga berhubungan dengan minimnya pengetahuan masyarakat terakit talasemia yang bisa menyerang keturunan.
Masyarakat sejatinya perlu mengetahui gejala talasemia. Mulai dari pusing, kulit pucat atau kuning, perubahan bentuk wajah, pusing berputar, gangguan pertumbuhan, mudah sakit, sesak napas, dan urine berwarna gelap.
Dr. Eva pun mengimbau kepada masyarakat untuk mencoba melakukan skrining guna mencegah terjadinya keturunan talasemia. Karena penyakit ini memang tidak bisa disembuhkan, tetapi dapat dicegah.
"Menghindari pernikahan sesama pembawa sifat, deteksi dini pada populasi tertentu, cukup dilakukan sekali seumur hidup, sehingga kita bisa mencegah kelahiran bayi talasemia mayor pada kemungkinan 50 persen pembawa sifat talasemia mayor," jelasnya.
Sementara itu, pada 8 Mei setiap tahunnya, diperingati sebagai Hari Talasemia Sedunia. Pada tahun ini, membawa tema 'Empowering Lives, Embracing Progress: Equitable and Accessible Thalassemia Treatment for All'.
Tema ini mengangkat bahwa seluruh pengidap talasemia, termasuk anak-anak, berhak mendapatkan terapi untuk memperpanjang hidup mereka. Pun, menjadi kesadaran untuk mengedukasi masyarakat pentingnya mengetahui efek talasemia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)