FITNESS & HEALTH
Kesehatan Mental Pria, antara Toxic Masculinity dan Bunuh Diri
A. Firdaus
Selasa 10 Oktober 2023 / 16:53
Jakarta: Pernah mengira gak, kalau wanita kok lebih yang banyak berani melontarkan keluhan tentang kesehatan mentalnya, ketimbang para pria? Jika iya, kamu tak sendiri, karena menurut beberapa pakar psikologi, pria cenderung memilih untuk diam, ketimbang 'bersuara'.
Bicara kesehatan mental, sejatinya kedua gender pasti memiliki masalah yang sama, yaitu sama-sama menderita juga. Akan tetapi untuk urusan pria berani berbicara atau speak up, nanti dulu deh!
Sebelumnya jika melirik artikel BBC tertulis, pada 2016, menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada 793.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia. Sebagian besar adalah laki-laki.
Di Inggris, tingkat bunuh diri laki-laki telah mencapai yang terendah sejak 1981 — 15,5 kematian per 100.000. Tapi bunuh diri masih menjadi penyebab kematian terbesar bagi laki-laki di bawah usia 45 tahun. Dan jurang gender yang mencolok tetap ada.
Toxic Masculinity menjadi akar permasalahannya, di mana rasa tangguh pada diri pria yang ditanam sejak mereka masih kecil, menjadi salah satu faktor mengapa Kaum Adam lebih memilih untuk diam untuk permasalahan mental.
Melansir Alodokter, Toxic Masculinity merupakan tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria, misalnya pria harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi.
"Saya sejak kecil diajarkan untuk tidak cengeng atau gampang sedih. Laki-laki harus tetap menunjukkan rasa tangguhnya, karena dia punya tanggung jawab dalam keluarga. Dan, Toxic Masculinity ini justru berbahaya sebenarnya. Jadi ketika benar-benar 'mentok' baru mereka lebih sukses mengakhiri dunia," ujar Adjie Santosoputro, Mindfulness Practitoner dalam Wealth Wisdom by Permata Bank.
Ya, mengakhiri hidup atau bunuh diri menjadi solusi di kala pria tak lagi menemukan jalan keluar dari permasalahan mentalnya. Karena, berbicara ke pakar psikolog berarti mengkhianati stigma yang ditanam sejak kecil.

Seminar Wealth Wisdom by Permata Bank, dengan tema Mental Healh: You Are Not Alone yang dihadiri oleh dr. Jiemi Ardian dan Adije Santosoputro. Dok. A. Firdaus/Medcom.
Belum lagi anggapan bahwa, curhat ke pasangan, keluarga, teman atau psikolog bukan cara terbaik bagi mereka. Bahkan ada anggapan seperti ini, 'bagi siapa pun yang hidup dengan masalah kesehatan mental, membicarakannya dengan siapa pun, apalagi dengan pakarnya, mungkin akan menakutkan dan sulit, bahkan mengintimidasi'.
Jurang gender yang mencolok ini menimbulkan rasa khawatir tersendiri bagi dr. Jiemi Ardian, Psychiatrist. Dalam kesempatan seminar Wealth Wisdom by Permata Bank beberapa waktu lalu, ia mengungkapkan persentasi kedatangan pasien pria dan wanita ke klinik kesehatan mental.
"Tercermin dalam persentasi gender yang berkonsultasi ke tempat praktek. Bahwa dari 10 pasien, hanya 2 di antaranya pasien laki-laki. Entah itu stigma atau keengganan atau menunggu parah, karena saya khawatir kalau fenomena laki-laki tak mau 'speak up 'dengan kesehatan mereka, bukan hanya di mental health saja, melainkan juga di kesehatan lainnya," terang," terang dr. Jiemi.
Para pria yang enggan mau merasakan, atau tepatnya pura-pura tidak mau dirasakan, bukan berarti mereka tidak ada penderitaan. Hanya saja, menurut dr. Jiemi, gejalanya berbeda, dan mereka menemukan cara yang lebih berbahaya dan sukses dalam mengatasi masalah, ketimbang wanita yang cenderung gagal.
"Entah kenapa kalau laki-laki ke dokter itu menunggu penyakitnya parah. Ini adalah gambaran dari laki-laki harus tangguh dan kuat, menunggu sakit badan baru masuk rumah sakit. Kalau kita lihat persentase, enggak terlalu jauh untuk berbicara tentang kesehatan mental, tapi untuk butuh pertolongan itu jauh berbeda sekali," ungkap dr. Jiemi.
Ketika laki laki cenderung menghindari obrolan mengenai kesehatan mental, cenderung menutupi sisi maskulinitasnya, maka mereka lebih ingin menunjukkan untuk tidak terlihat jangan sampa sedih, jangan sampai kelihatan rapuh. Nantinya, yang muncul reaksinya adalah membentak.
Permasalahan gender ini memang menjadi PR bersama dan harus dicari solusinya. Salah satunya, berani bicara. Pria harus bisa terlepas dari bayang-bayang Toxic Masculinity dan stigma apa pun yang membuat penderitaan itu berujung pada kematian.
Tanggalkan semua gengsi tentang pria harus tangguh, pria harus kuat, dan pria tak boleh cengeng. Bagaimanapun, bunuh diri bukan solusi, melainkan berujung pada sebuah tanggung jawab terhadap kehidupan di akhirat.
"Saya terus mengajak teman-teman pria untuk, mari kita ngomongin kesedihan, enggak apa apa laki-laki nonton Drama Korea, mendengarkan lagu patah hati itu juga gak apa apa. Sehingga, akan ada keterbukaan dan solusi yang lebih baik untuk menyelesaikan kesehatan mntal pria," ucap Adjie.
Seperti apa yang telah dilakukan wanita, di mana mereka mampu untuk melawan stigma. Kaum Hawa belakangan mampu melakukan pekerjaan pria, seperti bekerja di bengkel dan lain-lain. Hal itu juga seharusnya dilakukan pria untuk bisa membicarakan hal-hal yang sifatnya emosional.
"Marilah kita melampaui batasan gender selama ini dari sisi satu kebutuhan. Karena ingat, segala sesuatu yang bentuknya kontradiksi sebenarnya bisa saling melengkapi," tutup Adjie.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Bicara kesehatan mental, sejatinya kedua gender pasti memiliki masalah yang sama, yaitu sama-sama menderita juga. Akan tetapi untuk urusan pria berani berbicara atau speak up, nanti dulu deh!
Sebelumnya jika melirik artikel BBC tertulis, pada 2016, menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada 793.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia. Sebagian besar adalah laki-laki.
Di Inggris, tingkat bunuh diri laki-laki telah mencapai yang terendah sejak 1981 — 15,5 kematian per 100.000. Tapi bunuh diri masih menjadi penyebab kematian terbesar bagi laki-laki di bawah usia 45 tahun. Dan jurang gender yang mencolok tetap ada.
Toxic Masculinity
Toxic Masculinity menjadi akar permasalahannya, di mana rasa tangguh pada diri pria yang ditanam sejak mereka masih kecil, menjadi salah satu faktor mengapa Kaum Adam lebih memilih untuk diam untuk permasalahan mental.
Melansir Alodokter, Toxic Masculinity merupakan tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria, misalnya pria harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi.
"Saya sejak kecil diajarkan untuk tidak cengeng atau gampang sedih. Laki-laki harus tetap menunjukkan rasa tangguhnya, karena dia punya tanggung jawab dalam keluarga. Dan, Toxic Masculinity ini justru berbahaya sebenarnya. Jadi ketika benar-benar 'mentok' baru mereka lebih sukses mengakhiri dunia," ujar Adjie Santosoputro, Mindfulness Practitoner dalam Wealth Wisdom by Permata Bank.
Ya, mengakhiri hidup atau bunuh diri menjadi solusi di kala pria tak lagi menemukan jalan keluar dari permasalahan mentalnya. Karena, berbicara ke pakar psikolog berarti mengkhianati stigma yang ditanam sejak kecil.

Seminar Wealth Wisdom by Permata Bank, dengan tema Mental Healh: You Are Not Alone yang dihadiri oleh dr. Jiemi Ardian dan Adije Santosoputro. Dok. A. Firdaus/Medcom.
Belum lagi anggapan bahwa, curhat ke pasangan, keluarga, teman atau psikolog bukan cara terbaik bagi mereka. Bahkan ada anggapan seperti ini, 'bagi siapa pun yang hidup dengan masalah kesehatan mental, membicarakannya dengan siapa pun, apalagi dengan pakarnya, mungkin akan menakutkan dan sulit, bahkan mengintimidasi'.
Bukan hanya kesehatan mental
Jurang gender yang mencolok ini menimbulkan rasa khawatir tersendiri bagi dr. Jiemi Ardian, Psychiatrist. Dalam kesempatan seminar Wealth Wisdom by Permata Bank beberapa waktu lalu, ia mengungkapkan persentasi kedatangan pasien pria dan wanita ke klinik kesehatan mental.
"Tercermin dalam persentasi gender yang berkonsultasi ke tempat praktek. Bahwa dari 10 pasien, hanya 2 di antaranya pasien laki-laki. Entah itu stigma atau keengganan atau menunggu parah, karena saya khawatir kalau fenomena laki-laki tak mau 'speak up 'dengan kesehatan mereka, bukan hanya di mental health saja, melainkan juga di kesehatan lainnya," terang," terang dr. Jiemi.
Para pria yang enggan mau merasakan, atau tepatnya pura-pura tidak mau dirasakan, bukan berarti mereka tidak ada penderitaan. Hanya saja, menurut dr. Jiemi, gejalanya berbeda, dan mereka menemukan cara yang lebih berbahaya dan sukses dalam mengatasi masalah, ketimbang wanita yang cenderung gagal.
"Entah kenapa kalau laki-laki ke dokter itu menunggu penyakitnya parah. Ini adalah gambaran dari laki-laki harus tangguh dan kuat, menunggu sakit badan baru masuk rumah sakit. Kalau kita lihat persentase, enggak terlalu jauh untuk berbicara tentang kesehatan mental, tapi untuk butuh pertolongan itu jauh berbeda sekali," ungkap dr. Jiemi.
Ketika laki laki cenderung menghindari obrolan mengenai kesehatan mental, cenderung menutupi sisi maskulinitasnya, maka mereka lebih ingin menunjukkan untuk tidak terlihat jangan sampa sedih, jangan sampai kelihatan rapuh. Nantinya, yang muncul reaksinya adalah membentak.
Yuk, Speak up!
Permasalahan gender ini memang menjadi PR bersama dan harus dicari solusinya. Salah satunya, berani bicara. Pria harus bisa terlepas dari bayang-bayang Toxic Masculinity dan stigma apa pun yang membuat penderitaan itu berujung pada kematian.
Tanggalkan semua gengsi tentang pria harus tangguh, pria harus kuat, dan pria tak boleh cengeng. Bagaimanapun, bunuh diri bukan solusi, melainkan berujung pada sebuah tanggung jawab terhadap kehidupan di akhirat.
"Saya terus mengajak teman-teman pria untuk, mari kita ngomongin kesedihan, enggak apa apa laki-laki nonton Drama Korea, mendengarkan lagu patah hati itu juga gak apa apa. Sehingga, akan ada keterbukaan dan solusi yang lebih baik untuk menyelesaikan kesehatan mntal pria," ucap Adjie.
Seperti apa yang telah dilakukan wanita, di mana mereka mampu untuk melawan stigma. Kaum Hawa belakangan mampu melakukan pekerjaan pria, seperti bekerja di bengkel dan lain-lain. Hal itu juga seharusnya dilakukan pria untuk bisa membicarakan hal-hal yang sifatnya emosional.
"Marilah kita melampaui batasan gender selama ini dari sisi satu kebutuhan. Karena ingat, segala sesuatu yang bentuknya kontradiksi sebenarnya bisa saling melengkapi," tutup Adjie.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)