FITNESS & HEALTH

Ini Alasan Mengapa Usia Ideal Hamil 20 Hingga 35 Tahun

Antara
Rabu 03 April 2024 / 19:26
Jakarta: Kehamilan di atas usia 35 tahun disebut berisiko tinggi. Hal ini sempat menjadi perdebatan dan viral di media sosial.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dokter Hasto, membeberkan mengapa usia ideal perempuan hamil berada direntang usia 20 hingga 35 tahun. 

"Secara ilmiah, ibu hamil kalau sudah di atas 35 tahun disebut kehamilan risiko tinggi. Karena puncak kejayaan manusia itu pada usia 32 tahun," kata dr Hasto, dikutip dari Antara, Rabu, 3 April 2024.

Dokter Hasto mengungkapkan hal itu ketika memberikan sambutan pada acara Silaturahmi BKKBN Bersama Tim Pendamping Keluarga (TPK), Keluarga Berisiko Stunting (KRS) dan masyarakat di Masjid Adzuriyah BKKBN Pusat, Jakarta, kemarin.

Jika memang sudah kadung hamil di atas usia 35 tahun, dr Hasto mendorong calon rutin memeriksa kesehatan. Seperti, cek gula darah, cek tensi, hingga cek hipertiroid (hormon). 

"Karena semakin tua biasanya gula darahnya naik. Dalam keadaan seperti itu kalau hamil berbahaya untuk ibu dan bayinya," kata dia.
 
Baca: Hati-hati Moms, Ini 4 Risiko jika Bumil Mengalami Kurang Berat Badan

Risiko lain, kehamilan tua juga memicu penyakit jantung. Untuk itu, dia juga menyarankan agar ibu hamil di usia 35 tahun rutin mengecek jantung.

"Karena beban jantung orang hamil itu terberat pada umur kehamilan 32 minggu atau kira-kira tujuh bulan," kata dia.

Dokter Hasto menegaskan bahwa dia sama sekali tidak melarang orang hamil. "Maknanya, sadar bahwa Anda termasuk kelompok berisiko," kata dia.
 

Peran ayah

Dokter Hasto juga menuturkan tentang peran ayah pada penurunan stunting, dalam hal ini terkait dengan cuti suami. "Suami cuti melahirkan itu salah satu yang juga mendukung (penurunan stunting)," ujar dia.

Untuk itu, dokter Hasto menilai seorang suami layak diberikan cuti seminggu sebelum hari perkiraan lahir (HPL). Sehingga, menjelang kelahiran, istri berada dalam kondisi tenang karena didampingi suami. 

Ia menuturkan cuti suami saat istri melahirkan setidaknya selama tiga minggu. Yakni, satu minggu sebelum HPL dan dua minggu setelahnya.

Setelah melahirkan, Hasto juga menyarankan suami bisa mendampingi istri sampai 10 hari. Alasannya, puncak perempuan mengalami postpartum blues atau stres, depresi, neurosa, cemas, hingga psikosa terjadi setelah melahirkan pada hari ke-3 hingga ke-10. 

Gejala seorang ibu pasca-persalinan yang mengalami stres berat antara lain tersenyum sendiri, berbicara  sendiri, menangis sendiri. "Saat ibu stres pada hari ketiga hingga ke-10, menyusuinya belum sukses, kadang payudaranya bengkak, nyeri," kata dia.
 

Anak broken home dan stunting

Dokter Hasto juga menyinggung soal orang tua yang bercerai yang bisa mengakibatkan anak tidak terurus dengan baik. Sehingga, parentingnya menjadi tidak  baik. 

"Salah satu penyebab stunting karena anak tidak bahagia," kata Hasto.

Menurut dia, anak yang hidup dalam keluarga broken home memiliki ketahanan yang lemah. Salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) adalah ketenteraman. Jika perceraian tinggi, maka ketenteraman akan turun. 

"Itu dampak terhadap indeks ya, tetapi dampak bagi keluarga sendiri adalah broken home,” ujar dokter Hasto.

BKKBN mencatat lebih dari 500 ribu perceraian terjadi setiap tahun.

Silaturahmi BKKBN bersama Tim Pendamping Keluarga, Keluarga Berisiko Stunting dan Masyarakat di sekitar Jakarta Timur merupakan salah satu upaya BKKBN memberikan sosialisasi program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dan Percepatan Penurunan Stunting, khususnya bagi para TPK dan KRS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(UWA)

MOST SEARCH