FITNESS & HEALTH
5 Penyebab Program Bayi Tabung Kurang Diminati Pasutri di Indonesia
A. Firdaus
Jumat 29 November 2024 / 16:10
Jakarta: Studi dilakukan Firma konsultan manajemen Kearney berjudul Solving Southeast Asia’s Looming Fertility Crisis: IVF as a Path Toward Hope. Studi ini menggambarkan bahwa dari tahun 1970 hingga 2020, tingkat fertilitas di Asia Tenggara turun drastis dari 5,6 anak per perempuan menjadi 2,2 pada tahun 2020.
Angka ini melampaui penurunan di tingkat global dari 4,8 menjadi 2,4 anak pada periode yang sama. Tren ini mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas, termasuk urbanisasi, pergeseran norma keluarga, berkembangnya gaya hidup, serta meningkatnya kondisi kesehatan yang mempengaruhi fertilitas.
Selain itu, meski bukan satu-satunya solusi, in vitro fertilization (IVF) atau program bayi tabung menjadi solusi pendukung yang dapat membantu meringankan berbagai tantangan yang berkaitan dengan perubahan demografi nasional dan disparitas regional.
Studi ini juga mengungkap bahwa penetrasi IVF sangat bervariasi di Asia Tenggara. Singapura memiliki pasar yang lebih matang. Sedangkan Indonesia dan Filipina masih berada dalam tahap pengembangan.
Studi ini merekomendasikan langkah-langkah untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan tingkat keberhasilan IVF di Indonesia, termasuk memanfaatkan investasi regional serta kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk mengatasi tantangan regulasi, budaya, dan logistik.
Baca juga: Apa Itu Proses Inseminasi Intrauterin dan Bedanya dengan Program Bayi Tabung?
Selain itu pada studi tersebut didapat juga temuan utama lainnya yang berkaitan kurang minatnya program bayi tabung di Indonesia:
Di Indonesia, hanya sekitar 9.000 siklus IVF yang dilakukan setiap tahun, mewakili hanya 11% dari total siklus di enam negara ekonomi utama Asia Tenggara. Penetrasi yang rendah ini sebagian disebabkan oleh keterbatasan klinik di luar kota-kota besar.
Biaya per siklus IVF di Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini disebabkan karena tingkat keberhasilan yang rendah, sehingga membutuhkan lebih banyak siklus untuk kehamilan yang berhasil. Aksesibilitas juga terbatas karena konsentrasi klinik yang hanya ada di kota-kota besar.
Faktor Budaya dan agama di Indonesia menciptakan keraguan terhadap perawatan IVF, yang menjadi hambatan signifikan untuk adopsi yang lebih luas.
Sebanyak 75% responden survei di Indonesia yang mengalami masalah fertilitas atau memiliki rencana menunda kehamilan telah mempertimbangkan IVF, tetapi biaya yang tinggi dan kurangnya pengetahuan tentang prosedur ini menjadi hambatan utama, ditambah dengan masalah aksesibilitas.
Kerangka regulasi di Indonesia masih memiliki ruang untuk perbaikan, khususnya dalam aspek transparansi dan fleksibilitas, guna mendukung pertumbuhan industri.
Laporan ini menyoroti pada upaya kolaboratif untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan efektivitas IVF. Rekomendasi utamanya meliputi:
1. Memperluas cakupan klinik IVF ke luar kota besar untuk melayani populasi pedesaan.
2. Menurunkan biaya melalui kemitraan dengan sektor publik dan swasta serta investasi dalam infrastruktur kesehatan lokal.
3. Meningkatkan edukasi dan kesadaran tentang pilihan perawatan fertilitas.
4. Mereformasi kerangka regulasi untuk mendorong inovasi dan partisipasi sektor swasta.
"Studi kami menyoroti bahwa kebijakan yang terkoordinasi untuk meningkatkan akses assisted reproductive technologies (ART), termasuk IVF, serta keterjangkauannya, dan memperluas cakupan klinik IVF ke luar pusat-pusat kota besar," ungkap Sanath Balasubramanyam, Partner and Healthcare Expert di Kearney.
Penekanan pada edukasi mengenai pilihan fertilitas dan peningkatan dukungan kesehatan masyarakat dapat meningkatkan aksesibilitas ART bagi keluarga berpenghasilan rendah. Namun, keberhasilan IVF adalah upaya yang komprehensif.
"Edukasi tentang kesehatan, nutrisi, dan intervensi medis dini tetap menjadi prioritas utama. Kampanye kesehatan publik yang berfokus pada pelestarian fertilitas dan gaya hidup sehat akan meningkatkan peluang keberhasilan sekaligus membantu mencegah masalah fertilitas jangka panjang, yang pada akhirnya menyelaraskan perencanaan keluarga dengan tujuan
ekonomi dan demografi jangka panjang," kata Sanath.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Angka ini melampaui penurunan di tingkat global dari 4,8 menjadi 2,4 anak pada periode yang sama. Tren ini mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas, termasuk urbanisasi, pergeseran norma keluarga, berkembangnya gaya hidup, serta meningkatnya kondisi kesehatan yang mempengaruhi fertilitas.
Selain itu, meski bukan satu-satunya solusi, in vitro fertilization (IVF) atau program bayi tabung menjadi solusi pendukung yang dapat membantu meringankan berbagai tantangan yang berkaitan dengan perubahan demografi nasional dan disparitas regional.
Studi ini juga mengungkap bahwa penetrasi IVF sangat bervariasi di Asia Tenggara. Singapura memiliki pasar yang lebih matang. Sedangkan Indonesia dan Filipina masih berada dalam tahap pengembangan.
Studi ini merekomendasikan langkah-langkah untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan tingkat keberhasilan IVF di Indonesia, termasuk memanfaatkan investasi regional serta kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk mengatasi tantangan regulasi, budaya, dan logistik.
Baca juga: Apa Itu Proses Inseminasi Intrauterin dan Bedanya dengan Program Bayi Tabung?
Selain itu pada studi tersebut didapat juga temuan utama lainnya yang berkaitan kurang minatnya program bayi tabung di Indonesia:
1. Keterbatasan klinik
Di Indonesia, hanya sekitar 9.000 siklus IVF yang dilakukan setiap tahun, mewakili hanya 11% dari total siklus di enam negara ekonomi utama Asia Tenggara. Penetrasi yang rendah ini sebagian disebabkan oleh keterbatasan klinik di luar kota-kota besar.
2. Biaya mahal
Biaya per siklus IVF di Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini disebabkan karena tingkat keberhasilan yang rendah, sehingga membutuhkan lebih banyak siklus untuk kehamilan yang berhasil. Aksesibilitas juga terbatas karena konsentrasi klinik yang hanya ada di kota-kota besar.
3. Budaya dan agama
Faktor Budaya dan agama di Indonesia menciptakan keraguan terhadap perawatan IVF, yang menjadi hambatan signifikan untuk adopsi yang lebih luas.
4. Tunda kehamilan
Sebanyak 75% responden survei di Indonesia yang mengalami masalah fertilitas atau memiliki rencana menunda kehamilan telah mempertimbangkan IVF, tetapi biaya yang tinggi dan kurangnya pengetahuan tentang prosedur ini menjadi hambatan utama, ditambah dengan masalah aksesibilitas.
5. Regulasi di Indonesia
Kerangka regulasi di Indonesia masih memiliki ruang untuk perbaikan, khususnya dalam aspek transparansi dan fleksibilitas, guna mendukung pertumbuhan industri.
Laporan ini menyoroti pada upaya kolaboratif untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan efektivitas IVF. Rekomendasi utamanya meliputi:
1. Memperluas cakupan klinik IVF ke luar kota besar untuk melayani populasi pedesaan.
2. Menurunkan biaya melalui kemitraan dengan sektor publik dan swasta serta investasi dalam infrastruktur kesehatan lokal.
3. Meningkatkan edukasi dan kesadaran tentang pilihan perawatan fertilitas.
4. Mereformasi kerangka regulasi untuk mendorong inovasi dan partisipasi sektor swasta.
"Studi kami menyoroti bahwa kebijakan yang terkoordinasi untuk meningkatkan akses assisted reproductive technologies (ART), termasuk IVF, serta keterjangkauannya, dan memperluas cakupan klinik IVF ke luar pusat-pusat kota besar," ungkap Sanath Balasubramanyam, Partner and Healthcare Expert di Kearney.
Penekanan pada edukasi mengenai pilihan fertilitas dan peningkatan dukungan kesehatan masyarakat dapat meningkatkan aksesibilitas ART bagi keluarga berpenghasilan rendah. Namun, keberhasilan IVF adalah upaya yang komprehensif.
"Edukasi tentang kesehatan, nutrisi, dan intervensi medis dini tetap menjadi prioritas utama. Kampanye kesehatan publik yang berfokus pada pelestarian fertilitas dan gaya hidup sehat akan meningkatkan peluang keberhasilan sekaligus membantu mencegah masalah fertilitas jangka panjang, yang pada akhirnya menyelaraskan perencanaan keluarga dengan tujuan
ekonomi dan demografi jangka panjang," kata Sanath.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)