FITNESS & HEALTH
Solusi Efektif untuk Imunitas, Alergi, dan Pertumbuhan Anak
Yatin Suleha
Selasa 03 Desember 2024 / 22:46
Jakarta: Prevalensi persalinan dengan metode c-section dalam skala nasional meningkat dari 17,6 persen tahun 2018 menjadi 25,9 persen pada tahun 2023. Persalinan caesar dikaitkan dengan gangguan komposisi mikrobiota usus pada bayi, yang berpotensi memengaruhi kesehatan jangka panjang.
Dalam studi yang dipaparkan dalam Lydon-Rochelle dan Polidano et al. Scientific Reports, hal ini disebabkan oleh bayi yang lahir secara normal (vaginal) akan memiliki paparan mikroorganisme yang berbeda dengan bayi yang lahir melalui operasi caesar.
Mikrobiota usus bayi yang lahir caesar cenderung kurang beragam dan didominasi oleh bakteri yang kurang menguntungkan yang berisiko mengganggu keseimbangan bakteri di dalam usus (disbiosis) pada anak dan kesehatan anak di kemudian hari.
Hal ini menjadi salah satu diskusi yang diadakan dalam sesi pertemuan ilmiah Expert Scientific Lecture yang diadakan di Pusat Riset dan Inovasi Global Danone, beberapa hari lalu di Utrecht, Belanda.
Dan kegiatan ini bertujuan untuk menjadi wadah bagi Healthcare Professional dari Indonesia untuk bertukar pengalaman dan pandangan bersama para peneliti global mengenai permasalahan kesehatan anak, berbagi penelitian terbaru dan mendukung pengembangan solusi nutrisi inovatif melalui keahlian ilmiah dan teknologi.
.jpeg)
(Sesi pertemuan ilmiah Expert Scientific Lecture diadakan di Pusat Riset dan Inovasi Global Danone, di Utrecht, Belanda. Foto: Dok. Istimewa)
Dokter Spesialis Anak Konsultan Alergi Imunologi, Prof. Dr. dr. Anang Endaryanto, Sp.A(K) mengatakan, “Kondisi disbiosis dapat meningkatkan risiko bayi mengalami berbagai masalah alergi (seperti pilek, batuk kronik berulang, dan asma) dan gangguan imunitas tubuh (seperti infeksi, autoimun, dan penyakit inflamasi)."
Sementara saat bayi lahir secara normal, akan terpapar mikroorganisme yang ada di jalan lahir dan saluran cerna ibunya. Paparan bakteri ini membantu membentuk mikrobiota usus bayi yang sehat dan beragam, didominasi oleh bakteri baik seperti Bifidobacterium dan Bacteroides.
"Mikrobiota usus yang sehat ini akan mendukung perkembangan sistem kekebalan tubuh bayi yang protektif dan seimbang, sehingga tubuh lebih tahan terhadap penyakit infeksi, kanker, alergi, dan autoimun, serta mendukung pertumbuhan yang optimal,” tambah Prof. Anang.
Dampak penting pasca c-section adalah tantangan kesehatan yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak seperti alergi. Alergi makanan berpotensi memengaruhi status nutrisi dan pertumbuhan.
Salah satu contohnya adalah isu alergi susu sapi pada anak, yang mana kasus ini mencapai 0,5-7,5 persen per tahun dari jumlah kelahiran bayi di Indonesia. Alergi susu sapi (ASS) yang dimediasi IgE sering terjadi pada masa anak, memengaruhi sekitar 1,9-4,9 persen anak di seluruh dunia.
.jpg)
(Untuk meminimalisir dampak alergi, pedoman European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan eHF berbasis protein susu sapi sebagai pengobatan lini pertama untuk anak-anak dengan kondisi alergi protein susu sapi. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Lebih lanjut, Prof. Anang mengatakan, “Alergi protein susu sapi yang dimediasi IgE merupakan salah satu alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak usia dini. Penatalaksaan anak dengan alergi protein susu sapi yang terpenting adalah dengan menghindari alergen yaitu protein susu sapi dan memberikan penggantinya."
Para ibu yang menyusui juga disarankan menghindari konsumsi protein susu sapi dan turunannya.
Faktor risiko terjadinya alergi protein susu sapi meliputi kelahiran prematur, alergi makanan pada ibu, pemberian antibiotik selama kehamilan, dan pengenalan makanan pendamping saat anak berusia kurang dari empat bulan serta kelahiran melalui operasi caesar.
Baca juga: Moms, Hati-hati! Masa MPASI Rentan Terkena Anemia Defisiensi
"Sebagian besar dokter anak di Indonesia sudah cukup memahami alergi susu sapi dan rekomendasi yang disusun IDAI. Namun, upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keakuratan dalam diagnosis alergi susu sapi akan terus dilakukan,” tambah Prof. Anang.
Untuk meminimalisir dampak alergi ini, pedoman European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan eHF berbasis protein susu sapi sebagai pengobatan lini pertama untuk anak-anak dengan kondisi alergi protein susu sapi.
Bagi anak yang memiliki alergi susu sapi seperti ini, direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan dokter dalam memberikan formula pengganti berupa formula protein susu sapi yang terhidrolisis ekstensif (eHF), formula asam amino (AAF), atau formula isolat protein soya atau kedelai (SIF).
Masalah yang tidak optimal juga merupakan isu penting karena dapat memengaruhi perkembangan anak dalam jangka panjang.
Masalah pertumbuhan terbanyak di Indonesia adalah stunting, yaitu panjang/tinggi badan kurang dari -2 SD (Standar Deviasi) grafik WHO14 yang disebabkan oleh malnutrisi kronik.
Masalah gizi lainnya adalah weight faltering, gizi kurang, dan gizi buruk. Semua masalah gizi tersebut akan menyebabkan dampak jangka pendek, yatu menurunnya imunitas dan dampak jangka panjang, yaitu risiko sindrom metabolik dan gangguan perkembangan kognitif.
Oleh karena itu penting untuk mencegah stunting dengan cara mendeteksi weight faltering/berat badan kurang dan tata laksana segera.
.jpg)
("Terapi stunting membutuhkan asupan kalori yang cukup dengan protein energy ratio (PER) 10-15 persen," kata Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik, dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K). Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Stunting, maka pencegahan stunting dimulai dari tingkat Posyandu, yaitu dengan pemberian makanan yang mengandung protein hewani yang cukup.
Penelitian di 54 negara berkembang pada tahun 2001 menunjukkan bahwa weight faltering dan length deceleration (kenaikan panjang yang tidak adekuat) banyak terjadi pada masa pemberian MPASI. Anak yang telah mengalami weight faltering, berat badan kurang, atau gizi kurang harus ditangani di Puskesmas oleh dokter umum.
Pada anak tersebut, dibutuhkan pemberian makanan terapeutik, misalnya susu formula pertumbuhan. Anak yang telah mengalami stunting harus dirujuk ke Rumah Sakit untuk ditangani dokter anak segera, karena penatalaksanaan stunting memberikan hasil terbaik bila dilakukan sebelum usia dua tahun.
Terapi untuk anak yang mengalami stunting meliputi pemberian makanan yang mengandung kalori, protein hewani, dan mikroutrien cukup serta pangan keperluan medis khusus (PKMK).
Namun, penting untuk diperhatikan bahwa pemberian PKMK harus diresepkan oleh dokter anak karena dosis harus dihitung sesuai dengan kondisi klinis pasien.
“Tata laksana stunting yang dilakukan dokter spesialis anak berupa asuhan nutrisi pediatrik, yang terdiri dari 5 langkah, yaitu penilaian adakah penyakit medis dan status gizi, penentuan kebutuhan /kalori dan protein, penentuan rute pemberian nutrisi, pemilihan jenis nutrisi (makanan padat dan PKMK), serta pemantauan dan evaluasi," jelas Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik, dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K).
"Terapi stunting membutuhkan asupan kalori yang cukup dengan protein energy ratio (PER) 10-15 persen. Pemilihan PKMK didasarkan pada kebutuhan pasien, densitas energi, protein-energy ratio, persyaratan kandungan sukrosa, dan palatabilitas," jelas dr. Klara.
"Persayaratan komposisi PKMK diatur dalam Perka BPOM No. 24 tahun 2020 tentang perbaikan ke-2 Perka No.1 tahun 2018 tentang PKMK. Densitas energi pada PKMK untuk dukungan nutrisi (disebut juga oral nutrition supplement, ONS) minimal 0,9 kkal/mL. Berdasarkan densitas energi, ONS dikategorikan menjadi ONS energi tinggi (1.5 kkal/mL atau lebih) dan ONS energi standar,” tambah dr. Klara.
“Danone SN Indonesia mengajak para Healthcare Professional Tanah Air untuk bertukar pikiran dan berdiskusi secara aktif melalui forum scientific yang membahas berbagai topik terkait isu kesehatan serta nutrisi anak, di antaranya mengenai dampak kelahiran pasca c-section, hubungan imunitas serta alergi dan gangguan pertumbuhan, stunting dan malnutrisi serta anemia defisiensi besi," kata Healthcare Nutrition Director Danone SN Indonesia, dr. Ashari Fitriyansyah.
"Kegiatan ini juga merupakan salah satu upaya kami untuk membangun sinergi antara Healthcare Professional ibu dan anak berbagi pengetahuan mengenai isu kesehatan yang memengaruhi pertumbuhan anak di masa depan, termasuk bagi anak-anak di Indonesia,” pungkas dr. Ashari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Dalam studi yang dipaparkan dalam Lydon-Rochelle dan Polidano et al. Scientific Reports, hal ini disebabkan oleh bayi yang lahir secara normal (vaginal) akan memiliki paparan mikroorganisme yang berbeda dengan bayi yang lahir melalui operasi caesar.
Mikrobiota usus bayi yang lahir caesar cenderung kurang beragam dan didominasi oleh bakteri yang kurang menguntungkan yang berisiko mengganggu keseimbangan bakteri di dalam usus (disbiosis) pada anak dan kesehatan anak di kemudian hari.
Hal ini menjadi salah satu diskusi yang diadakan dalam sesi pertemuan ilmiah Expert Scientific Lecture yang diadakan di Pusat Riset dan Inovasi Global Danone, beberapa hari lalu di Utrecht, Belanda.
Dan kegiatan ini bertujuan untuk menjadi wadah bagi Healthcare Professional dari Indonesia untuk bertukar pengalaman dan pandangan bersama para peneliti global mengenai permasalahan kesehatan anak, berbagi penelitian terbaru dan mendukung pengembangan solusi nutrisi inovatif melalui keahlian ilmiah dan teknologi.
Kondisi ketidakseimbangan bakteri dan mikroba baik
.jpeg)
(Sesi pertemuan ilmiah Expert Scientific Lecture diadakan di Pusat Riset dan Inovasi Global Danone, di Utrecht, Belanda. Foto: Dok. Istimewa)
Dokter Spesialis Anak Konsultan Alergi Imunologi, Prof. Dr. dr. Anang Endaryanto, Sp.A(K) mengatakan, “Kondisi disbiosis dapat meningkatkan risiko bayi mengalami berbagai masalah alergi (seperti pilek, batuk kronik berulang, dan asma) dan gangguan imunitas tubuh (seperti infeksi, autoimun, dan penyakit inflamasi)."
Sementara saat bayi lahir secara normal, akan terpapar mikroorganisme yang ada di jalan lahir dan saluran cerna ibunya. Paparan bakteri ini membantu membentuk mikrobiota usus bayi yang sehat dan beragam, didominasi oleh bakteri baik seperti Bifidobacterium dan Bacteroides.
"Mikrobiota usus yang sehat ini akan mendukung perkembangan sistem kekebalan tubuh bayi yang protektif dan seimbang, sehingga tubuh lebih tahan terhadap penyakit infeksi, kanker, alergi, dan autoimun, serta mendukung pertumbuhan yang optimal,” tambah Prof. Anang.
Dampak penting pasca c-section adalah tantangan kesehatan yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak seperti alergi. Alergi makanan berpotensi memengaruhi status nutrisi dan pertumbuhan.
Salah satu contohnya adalah isu alergi susu sapi pada anak, yang mana kasus ini mencapai 0,5-7,5 persen per tahun dari jumlah kelahiran bayi di Indonesia. Alergi susu sapi (ASS) yang dimediasi IgE sering terjadi pada masa anak, memengaruhi sekitar 1,9-4,9 persen anak di seluruh dunia.
Alergi protein susu sapi
.jpg)
(Untuk meminimalisir dampak alergi, pedoman European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan eHF berbasis protein susu sapi sebagai pengobatan lini pertama untuk anak-anak dengan kondisi alergi protein susu sapi. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Lebih lanjut, Prof. Anang mengatakan, “Alergi protein susu sapi yang dimediasi IgE merupakan salah satu alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak usia dini. Penatalaksaan anak dengan alergi protein susu sapi yang terpenting adalah dengan menghindari alergen yaitu protein susu sapi dan memberikan penggantinya."
Para ibu yang menyusui juga disarankan menghindari konsumsi protein susu sapi dan turunannya.
Faktor risiko terjadinya alergi protein susu sapi meliputi kelahiran prematur, alergi makanan pada ibu, pemberian antibiotik selama kehamilan, dan pengenalan makanan pendamping saat anak berusia kurang dari empat bulan serta kelahiran melalui operasi caesar.
Baca juga: Moms, Hati-hati! Masa MPASI Rentan Terkena Anemia Defisiensi
"Sebagian besar dokter anak di Indonesia sudah cukup memahami alergi susu sapi dan rekomendasi yang disusun IDAI. Namun, upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keakuratan dalam diagnosis alergi susu sapi akan terus dilakukan,” tambah Prof. Anang.
Untuk meminimalisir dampak alergi ini, pedoman European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan eHF berbasis protein susu sapi sebagai pengobatan lini pertama untuk anak-anak dengan kondisi alergi protein susu sapi.
Bagi anak yang memiliki alergi susu sapi seperti ini, direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan dokter dalam memberikan formula pengganti berupa formula protein susu sapi yang terhidrolisis ekstensif (eHF), formula asam amino (AAF), atau formula isolat protein soya atau kedelai (SIF).
Masalah yang tidak optimal juga merupakan isu penting karena dapat memengaruhi perkembangan anak dalam jangka panjang.
Masalah pertumbuhan terbanyak di Indonesia adalah stunting, yaitu panjang/tinggi badan kurang dari -2 SD (Standar Deviasi) grafik WHO14 yang disebabkan oleh malnutrisi kronik.
Masalah gizi lainnya adalah weight faltering, gizi kurang, dan gizi buruk. Semua masalah gizi tersebut akan menyebabkan dampak jangka pendek, yatu menurunnya imunitas dan dampak jangka panjang, yaitu risiko sindrom metabolik dan gangguan perkembangan kognitif.
Oleh karena itu penting untuk mencegah stunting dengan cara mendeteksi weight faltering/berat badan kurang dan tata laksana segera.
Pencegahan stunting
.jpg)
("Terapi stunting membutuhkan asupan kalori yang cukup dengan protein energy ratio (PER) 10-15 persen," kata Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik, dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K). Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Stunting, maka pencegahan stunting dimulai dari tingkat Posyandu, yaitu dengan pemberian makanan yang mengandung protein hewani yang cukup.
Penelitian di 54 negara berkembang pada tahun 2001 menunjukkan bahwa weight faltering dan length deceleration (kenaikan panjang yang tidak adekuat) banyak terjadi pada masa pemberian MPASI. Anak yang telah mengalami weight faltering, berat badan kurang, atau gizi kurang harus ditangani di Puskesmas oleh dokter umum.
Pada anak tersebut, dibutuhkan pemberian makanan terapeutik, misalnya susu formula pertumbuhan. Anak yang telah mengalami stunting harus dirujuk ke Rumah Sakit untuk ditangani dokter anak segera, karena penatalaksanaan stunting memberikan hasil terbaik bila dilakukan sebelum usia dua tahun.
Terapi untuk anak yang mengalami stunting meliputi pemberian makanan yang mengandung kalori, protein hewani, dan mikroutrien cukup serta pangan keperluan medis khusus (PKMK).
Namun, penting untuk diperhatikan bahwa pemberian PKMK harus diresepkan oleh dokter anak karena dosis harus dihitung sesuai dengan kondisi klinis pasien.
“Tata laksana stunting yang dilakukan dokter spesialis anak berupa asuhan nutrisi pediatrik, yang terdiri dari 5 langkah, yaitu penilaian adakah penyakit medis dan status gizi, penentuan kebutuhan /kalori dan protein, penentuan rute pemberian nutrisi, pemilihan jenis nutrisi (makanan padat dan PKMK), serta pemantauan dan evaluasi," jelas Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik, dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K).
"Terapi stunting membutuhkan asupan kalori yang cukup dengan protein energy ratio (PER) 10-15 persen. Pemilihan PKMK didasarkan pada kebutuhan pasien, densitas energi, protein-energy ratio, persyaratan kandungan sukrosa, dan palatabilitas," jelas dr. Klara.
"Persayaratan komposisi PKMK diatur dalam Perka BPOM No. 24 tahun 2020 tentang perbaikan ke-2 Perka No.1 tahun 2018 tentang PKMK. Densitas energi pada PKMK untuk dukungan nutrisi (disebut juga oral nutrition supplement, ONS) minimal 0,9 kkal/mL. Berdasarkan densitas energi, ONS dikategorikan menjadi ONS energi tinggi (1.5 kkal/mL atau lebih) dan ONS energi standar,” tambah dr. Klara.
“Danone SN Indonesia mengajak para Healthcare Professional Tanah Air untuk bertukar pikiran dan berdiskusi secara aktif melalui forum scientific yang membahas berbagai topik terkait isu kesehatan serta nutrisi anak, di antaranya mengenai dampak kelahiran pasca c-section, hubungan imunitas serta alergi dan gangguan pertumbuhan, stunting dan malnutrisi serta anemia defisiensi besi," kata Healthcare Nutrition Director Danone SN Indonesia, dr. Ashari Fitriyansyah.
"Kegiatan ini juga merupakan salah satu upaya kami untuk membangun sinergi antara Healthcare Professional ibu dan anak berbagi pengetahuan mengenai isu kesehatan yang memengaruhi pertumbuhan anak di masa depan, termasuk bagi anak-anak di Indonesia,” pungkas dr. Ashari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)