FITNESS & HEALTH

Pelaku Ledakan di SMAN 72 Jakarta Diduga Siswa Korban Bullying, Ini Kata Psikolog

A. Firdaus
Sabtu 08 November 2025 / 18:29
Jakarta: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membenarkan terduga pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta merupakan siswa dari sekolah tersebut. Siswa terduga pelaku ini juga mengalami luka dan sempat menjalani operasi di salah satu rumah sakit.

Diduga, pelaku melakukan aksinya lantaran sempat menjadi korban bullying di SMAN 72 Jakarta. Psikolog pun mengungkapkan bahwa korban bullying memang berpotensi untuk melakukan tindakan ekstrem.

Menurut Psikolog Jovita Maria Ferliana, M. Psi., Psi, tindakan ekstrem yang dilakukan oleh siswa korban bullying tersebut merupakan manifestasi dari rasa sakit yang berubah menjadi kemarahan mematikan.

“Tindakan seperti ngebom sekolah itu biasanya merupakan manifestasi dari rasa sakit yang berubah menjadi kemarahan mematikan, dan diperparah lagi oleh isolasi sosial, distorsi kognitif, dan kegagalan sistem pendukung yang ada di sekitarnya. Jadi, ini bukan semata-mata kejahatan spontan, melainkan ledakan dari penderitaan yang tidak tertangani,” jelas Jovita kepada Medcom.id (08/11/2025).
 
Jovita mengatakan bahwa ada 7 faktor yang memengaruhi seorang korban bullying berpotensi melakukan tindakan ekstrem. Berikut adalah di antaranya:
 

1. Akumulasi trauma dan perasaan tidak berdaya


Jovita mengatakan bullying yang terjadi terus menerus, baik itu fisik verbal, sosial ataupun online, itu bisa menciptakan luka psikologis yang mendalam.

“Ada rasa takut dan ada rasa cemas kronis di dalamnya. Ada juga perasaan tidak aman bahkan di tempat yang seharusnya dia aman, misalnya di sekolah atau di rumah. Ada juga perasaan ketidakberdayaan, yaitu merasa tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikan penderitaan,” ungkap Jovita.
 

2. Kemarahan terpendam dan rasa ingin membalas


Kurangnya perlindungan dari sekolah, teman, orang tua, atau pihak lain membuat rasa sakit dan marah berkembang menjadi kemarahan destruktif.

“Destruktif itu maksudnya yang merusak yang bisa bertransformasi menjadi rasa benci terhadap lingkungan sosialnya. Bisa juga ada fantasi balas dendam sebagai cara mengambil kendali,” paparnya.
 

3. Isolasi sosial dan kehilangan empati


Bullying kronis bisa membuat si korban itu terisolasi secara sosial. Korban menarik diri karena takut dihakimi atau diejek, yang lama-kelamaan menurunkan empati terhadap orang lain.

“Karena dia merasa dunia itu terasa musuhnya dia. Tidak ada lagi rasa ketertarikan dengan kelompok sosial,” kata Jovita.
 

4. Distorsi kognitif dan hilangnya realitas emosional


Dalam kondisi stres berat yang berkepanjangan, itu seseorang bisa mengalami distorsi pikiran atau distorsi kognitif. Jika tidak tertangani melalui terapi, dukungan sosial, dan tidak datang ke bantuan profesional, maka ide ekstrem tampak masuk akal.
 

5. Kehilangan dukungan atau kegagalan sistem sosial


Kegagalan sistem sekitar, seperti sekolah yang tidak menanggapi laporan bullying serius, orang tua yang tidak menyadari perubahan perilaku anak, teman sebaya yang menjauh karena takut ikut di-bully, atau korban yang diam sehingga masalah tidak tersampaikan.

“Jadi, akhirnya korban merasa sepenuhnya itu sendirian dan dalam kesepian itu dia bisa menyatu dengan pikiran yang destruktif, atau pikiran-pikiran gelapnya dia,” tambah Jovita.
 

6. Gangguan mental yang mungkin terlibat


Tindakan ekstrem sering melibatkan morbiditas psikologis seperti depresi berat, PTSD, gangguan kepribadian, atau gangguan delusional. Namun, hal ini memerlukan pemeriksaan psikologis oleh profesional bukan diagnosis sembarangan.
 

7. Faktor sosial budaya dan akses terhadap kekerasan


Faktor kontekstual seperti akses mudah ke senjata atau bahan peledak, paparan media yang menormalisasi kekerasan, atau kurangnya figur panutan positif. 

Secillia Nur Hafifah

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)

MOST SEARCH