FAMILY
Mengenal Istilah 'Latte Dad' di Swedia, Apa Bisa Diterapkan di Indonesia?
Aulia Putriningtias
Rabu 10 September 2025 / 11:10
Jakarta: Sebagai orang tua, peran ayah tidak kalah pentingnya dengan seorang ibu. Istilah 'Latte Dad' dari Swedia yang tren sejak 2010-an ini menarik untuk dilihat; apakah bisa diterapkan di Indonesia?
Latte Dad sendiri merupakan penggambaran seorang ayah yang mengambil peran dalam pengasuhan anak sejak lahir. Fenomena ini merujuk pada sosok ayah yang terlihat santai di kafe menikmati secangkir kopi latte, sambil mendorong stroller atau menggendong anaknya.
Melansir dalam Today, konsep Latte Dad berawal di Swedia, negara yang dikenal memiliki kebijakan keluarga modern dan inklusif. Sejak tahun 1974, pemerintah Swedia mengganti sistem cuti melahirkan tradisional menjadi cuti orang tua berbayar yang dapat dibagi antara ibu dan ayah.
Baca juga: Cara Bijak Menghadapi Balita yang Lagi Tantrum agar Lebih Tenang
Secara jelasnya, di Swedia, setiap orang tua baik ayah maupun ibu mendapatkan total 480 hari cuti berbayar yang bisa dibagi sesuai kebutuhan. Bahkan, sebagian hari cuti itu bisa digunakan hingga anak berusia 12 tahun.
Melalui cuti ini, tak mengherankan bahwa seorang ayah dapat mengambil perannya untuk anak sejak dini. Mulai dari mengganti popok, mengikuti kelas bayi, hingga sekadar nongkrong di kafe sambil berbagi pengalaman dengan ayah-ayah lainnya.
Fakta menariknya, di kalangan masyarakat Swedia, ayah yang tidak mengambil cuti justru dianggap tabu, loh! Hal ini menjadi norma sosial yang positif untuk mendorong keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak.
Latte Dad bukan hanya sebagai tren, melainkan sebenarnya yang harus dilakukan ayah di seluruh dunia untuk anak-anak mereka. Keterlibatan ayah sejak dini berdampak positif pada perkembangan sosial dan emosional anak.
Kita mengenal seorang ibu yang sudah memikul pengasuhan sejak anak dilahirkan. Dari sini, peran Latte Dad dapat membantu pemulihan ibu pasca melahirkan, yang juga mencegah risiko hadirnya baby blues hingga depresi postpartum.
Bahkan menurut data Pemerintah Swedia, keluarga yang berbagi peran pengasuhan cenderung lebih harmonis dan memiliki risiko perceraian lebih rendah. Anak juga lebih mengerti sejak dini, bahwa peran pengasuhan tidak hanya jatuh pada satu gender.
Sudah pasti para moms ingin peran ayah juga hadir dalam tumbuh kembang seorang anak. Pertanyaannya, apakah mungkin tren Latte Dad bisa diterapkan di Indonesia?
Jawaban untuk saat ini adalah masih sulit, jika berkaca pada cuti untuk seorang ayah. Berdasarkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), seorang ayah berhak mendapatkan cuti pendampingan istri melahirkan selama 2 hari, dan dapat ditambah paling lama 3 hari sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan perusahaan.
Melihat dari hari cuti, sudah jauh sekali terhadap Swedia. Namun, media sosial tampaknya menjadi media bersuara bagi para wanita, terutama ibu-ibu, yang memiliki keinginan besar peran ayah dalam tumbuh kembang anak mereka.
Efeknya adalah bagi beberapa ayah, mulai menyadari pentingnya peran pengasuhan anak yang setara. Pemerintah (Kemendukbangga/BKKBN) juga secara aktif mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan untuk kesejahteraan keluarga.
Salah satu contohnya adalah Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah, sebuah inisiatif pemerintah Indonesia melalui Kemendikbudristek dan BKKBN yang mendorong ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak sejak dini.
Namun, hal ini saja tidak cukup, loh! Meskipun prosesnya masih jauh dari Latte Dad milik Swedia, baik itu anak muda dan juga para ibu kiranya dapat terus bersuara betapa pentingnya peran setara antara ibu dan ayah dalam pengasuhan anak.
Jadi, efeknya akan terasa pada anak. Bukan hanya perihal kesehatan emosional si kecil, melainkan mereka mengerti bahwa peran pengasuhan tidak hanya jatuh dalam satu gender, melainkan kedua orang tua mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Latte Dad sendiri merupakan penggambaran seorang ayah yang mengambil peran dalam pengasuhan anak sejak lahir. Fenomena ini merujuk pada sosok ayah yang terlihat santai di kafe menikmati secangkir kopi latte, sambil mendorong stroller atau menggendong anaknya.
Melansir dalam Today, konsep Latte Dad berawal di Swedia, negara yang dikenal memiliki kebijakan keluarga modern dan inklusif. Sejak tahun 1974, pemerintah Swedia mengganti sistem cuti melahirkan tradisional menjadi cuti orang tua berbayar yang dapat dibagi antara ibu dan ayah.
Baca juga: Cara Bijak Menghadapi Balita yang Lagi Tantrum agar Lebih Tenang
Secara jelasnya, di Swedia, setiap orang tua baik ayah maupun ibu mendapatkan total 480 hari cuti berbayar yang bisa dibagi sesuai kebutuhan. Bahkan, sebagian hari cuti itu bisa digunakan hingga anak berusia 12 tahun.
Melalui cuti ini, tak mengherankan bahwa seorang ayah dapat mengambil perannya untuk anak sejak dini. Mulai dari mengganti popok, mengikuti kelas bayi, hingga sekadar nongkrong di kafe sambil berbagi pengalaman dengan ayah-ayah lainnya.
Fakta menariknya, di kalangan masyarakat Swedia, ayah yang tidak mengambil cuti justru dianggap tabu, loh! Hal ini menjadi norma sosial yang positif untuk mendorong keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak.
Apa manfaat dari Latte Dad atau peran ayah dalam anak?
Latte Dad bukan hanya sebagai tren, melainkan sebenarnya yang harus dilakukan ayah di seluruh dunia untuk anak-anak mereka. Keterlibatan ayah sejak dini berdampak positif pada perkembangan sosial dan emosional anak.
Kita mengenal seorang ibu yang sudah memikul pengasuhan sejak anak dilahirkan. Dari sini, peran Latte Dad dapat membantu pemulihan ibu pasca melahirkan, yang juga mencegah risiko hadirnya baby blues hingga depresi postpartum.
Bahkan menurut data Pemerintah Swedia, keluarga yang berbagi peran pengasuhan cenderung lebih harmonis dan memiliki risiko perceraian lebih rendah. Anak juga lebih mengerti sejak dini, bahwa peran pengasuhan tidak hanya jatuh pada satu gender.
Apakah Latte Dad bisa diterapkan di Indonesia?
Sudah pasti para moms ingin peran ayah juga hadir dalam tumbuh kembang seorang anak. Pertanyaannya, apakah mungkin tren Latte Dad bisa diterapkan di Indonesia?
Jawaban untuk saat ini adalah masih sulit, jika berkaca pada cuti untuk seorang ayah. Berdasarkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), seorang ayah berhak mendapatkan cuti pendampingan istri melahirkan selama 2 hari, dan dapat ditambah paling lama 3 hari sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan perusahaan.
Melihat dari hari cuti, sudah jauh sekali terhadap Swedia. Namun, media sosial tampaknya menjadi media bersuara bagi para wanita, terutama ibu-ibu, yang memiliki keinginan besar peran ayah dalam tumbuh kembang anak mereka.
Efeknya adalah bagi beberapa ayah, mulai menyadari pentingnya peran pengasuhan anak yang setara. Pemerintah (Kemendukbangga/BKKBN) juga secara aktif mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan untuk kesejahteraan keluarga.
Salah satu contohnya adalah Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah, sebuah inisiatif pemerintah Indonesia melalui Kemendikbudristek dan BKKBN yang mendorong ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak sejak dini.
Namun, hal ini saja tidak cukup, loh! Meskipun prosesnya masih jauh dari Latte Dad milik Swedia, baik itu anak muda dan juga para ibu kiranya dapat terus bersuara betapa pentingnya peran setara antara ibu dan ayah dalam pengasuhan anak.
Jadi, efeknya akan terasa pada anak. Bukan hanya perihal kesehatan emosional si kecil, melainkan mereka mengerti bahwa peran pengasuhan tidak hanya jatuh dalam satu gender, melainkan kedua orang tua mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)