FAMILY
6 Tips untuk Orang Tua Berbicara dengan Anak tentang Flip the Camera Challenge
A. Firdaus
Jumat 12 Desember 2025 / 14:10
Jakarta: Tren "Flip the camera challenge" merupakan fenomena viral di dunia media sosial, khususnya TikTok yang melibatkan perekaman respons seseorang secara tersembunyi. Fenomena ini sering kali dikategorikan sebagai bentuk bully melalui media sosial.
Mengenali dampak yang berpotensi menghancurkan dari ‘flip the camera challenge’ adalah kunci bagi orang tua karena tren ini tidak hanya tentang kesenangan sesaat di media sosial, tetapi juga bisa meninggalkan luka emosional yang dalam bagi anak-anak yang terlibat.
Lian Liu, PhD yang merupakan seorang psikolog anak dari Nemours Children's Health, menyarankan untuk tidak sekadar mengabaikan ini sebagai ‘anak-anak hanya bermain-main.’
Menurut Anne Josephson, PsyD, MSEd, orang tua perlu membicarakan hal ini tanpa menghakimi dan mencari tahu bagaimana perasaan anak tentang konten tersebut dari sudut pandang rasa ingin tahu.
Dengan cara ini, percakapan bisa menjadi pembelajaran yang positif, di mana anak merasa didengar dan didukung, bukan dihakimi. Percakapan ini bisa dimulai dengan menonton video bersama dan membahas apa yang terjadi, tanpa langsung menyalahkan.
Orang tua dapat menggunakan contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menjelaskan empati, seperti bagaimana perasaan seseorang jika dijadikan bahan tertawaan.
Penting untuk membuat anak merasa aman berbicara tentang pengalaman mereka, sehingga mereka belajar dari kesalahan tanpa takut dihukum.
Tanyakan mengapa mereka merasa terdorong untuk berpartisipasi, berkomentar, atau melihat konten tersebut.
Tekankan pentingnya inklusi dan empati. “Tekankan bahwa perbedaan harus dihormati, bukan dijadikan bahan lelucon,” saran Alisha Simpson-Watt, LCSW, BCBA, LBA, Direktur Klinis Eksekutif dan Pendiri Collaborative ABA Services, LLC.
"Tekankan permanensi internet. Ingatkan anak-anak bahwa sekali sesuatu ada di internet, tidak bisa ditarik kembali,” saran Simpson-Watt.
Hal ini berarti video atau komentar yang diunggah bisa tetap ada selamanya, bahkan jika anak menyesal, jadi penting untuk berpikir dua kali sebelum membagikan apa pun.
Semua orang harus setuju sebelum difoto atau direkam, agar tidak ada yang merasa dipermalukan atau dieksploitasi tanpa izin.
Membantu anak membayangkan bagaimana rasanya menjadi sasaran, sehingga mereka lebih mudah memahami mengapa perundungan itu salah dan tidak lucu.
Berdayakan anak untuk mengatakan “tidak” Simpson-Watt mengatakan orang tua harus memberitahu anak-anak bahwa tidak ikut serta dalam tantangan seperti ini bisa menjadi tindakan yang berani, bahkan jika teman-teman mereka mendorong mereka.
“Puji anak ketika melihat mereka bersikap peduli atau memikirkan orang lain, baik online maupun offline,” sarankan dr. Josephson.
Dengan memuji tindakan baik, orang tua membantu anak merasa bangga dengan pilihan positif mereka, sehingga mereka lebih sering memilih empati daripada ikut tren yang merugikan.
Secillia Nur Hafifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)
Mengenali dampak yang berpotensi menghancurkan dari ‘flip the camera challenge’ adalah kunci bagi orang tua karena tren ini tidak hanya tentang kesenangan sesaat di media sosial, tetapi juga bisa meninggalkan luka emosional yang dalam bagi anak-anak yang terlibat.
Lian Liu, PhD yang merupakan seorang psikolog anak dari Nemours Children's Health, menyarankan untuk tidak sekadar mengabaikan ini sebagai ‘anak-anak hanya bermain-main.’
Menurut Anne Josephson, PsyD, MSEd, orang tua perlu membicarakan hal ini tanpa menghakimi dan mencari tahu bagaimana perasaan anak tentang konten tersebut dari sudut pandang rasa ingin tahu.
Dengan cara ini, percakapan bisa menjadi pembelajaran yang positif, di mana anak merasa didengar dan didukung, bukan dihakimi. Percakapan ini bisa dimulai dengan menonton video bersama dan membahas apa yang terjadi, tanpa langsung menyalahkan.
Orang tua dapat menggunakan contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menjelaskan empati, seperti bagaimana perasaan seseorang jika dijadikan bahan tertawaan.
Penting untuk membuat anak merasa aman berbicara tentang pengalaman mereka, sehingga mereka belajar dari kesalahan tanpa takut dihukum.
1. Tanyakan motivasi mereka
Tanyakan mengapa mereka merasa terdorong untuk berpartisipasi, berkomentar, atau melihat konten tersebut.
2. Tekankan inklusi dan empati
Tekankan pentingnya inklusi dan empati. “Tekankan bahwa perbedaan harus dihormati, bukan dijadikan bahan lelucon,” saran Alisha Simpson-Watt, LCSW, BCBA, LBA, Direktur Klinis Eksekutif dan Pendiri Collaborative ABA Services, LLC.
3. Ingatkan tentang permanensi internet
"Tekankan permanensi internet. Ingatkan anak-anak bahwa sekali sesuatu ada di internet, tidak bisa ditarik kembali,” saran Simpson-Watt.
Hal ini berarti video atau komentar yang diunggah bisa tetap ada selamanya, bahkan jika anak menyesal, jadi penting untuk berpikir dua kali sebelum membagikan apa pun.
4. Bicarakan tentang persetujuan
Semua orang harus setuju sebelum difoto atau direkam, agar tidak ada yang merasa dipermalukan atau dieksploitasi tanpa izin.
5. Lakukan peran terbalik
Membantu anak membayangkan bagaimana rasanya menjadi sasaran, sehingga mereka lebih mudah memahami mengapa perundungan itu salah dan tidak lucu.
6. Berdayakan anak untuk mengatakan 'tidak'
Berdayakan anak untuk mengatakan “tidak” Simpson-Watt mengatakan orang tua harus memberitahu anak-anak bahwa tidak ikut serta dalam tantangan seperti ini bisa menjadi tindakan yang berani, bahkan jika teman-teman mereka mendorong mereka.
7. Contohkan dan perkuat kebaikan
“Puji anak ketika melihat mereka bersikap peduli atau memikirkan orang lain, baik online maupun offline,” sarankan dr. Josephson.
Dengan memuji tindakan baik, orang tua membantu anak merasa bangga dengan pilihan positif mereka, sehingga mereka lebih sering memilih empati daripada ikut tren yang merugikan.
Secillia Nur Hafifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)