Ekonomi hijau adalah suatu gagasan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, sekaligus mencegah meningkatnya emisi gas rumah kaca. Serta mengatasi dampak perubahan iklim.
Dalam laporan terbaru Climate Policy Initiative dan Vivid Economics yang berjudul Improving the Impact of Fiscal Stimulus in Asia: An Analysis of Green Recovery Investments and Opportunities, sebuah studi terbaru menunjukkan hasil seberapa "hijau' paket stimulus pemulihan covid-19 dan kontribusinya terhadap tujuan iklim tingkat negara selama 2020 di lima negara Asia.
Lima negara ekonomi terbesar di Asia seperti India, Indonesia, Filipina, Singapura, dan Korea Selatan, telah mengumumkan nilai paket stimulus pemulihan covid-19 sebesar total USD884 miliar. Laporan tersebut menunjukkan Korea Selatan mengeluarkan paket stimulus terbesar (USD333,7 miliar), diikuti India (USD332,9 miliar), Singapura (USD85,7 miliar), Indonesia (USD74,7 miliar), dan Filipina (USD17,0 miliar).
"Persentase paket stimulus yang diambil dari PDB (Produk Domestik Bruto) yakni Singapura sebesar 24 persen, Korea Selatan sebesar 20 persen, India sebesar 12 persen, Indonesia sebesar enam persen, dan Filipina sebesar empat persen," ulas laporan tersebut.
Adapun Korea Selatan mengalokasikan sebagian besar paket stimulusnya ke arah ekonomi hijau, yaitu sebesar USD37 miliar atau 53 persen dari langkah-langkah stimulus terkait lingkungan. Sementara India hanya mengalokasikan USD27,7 miliar atau 31 persen dari langkah-langkah stimulus terkait lingkungan.
"Sedangkan Indonesia hanya mengalokasikan empat persen atau USD0,3 miliar yang diarahkan pada ekonomi hijau," urai laporan itu.
Berdasarkan hasil analisis, Filipina dan Singapura tidak memasukkan komitmen green economy dalam paket stimulus mereka. Studi tersebut mencakup rekomendasi kunci untuk memastikan pemulihan yang berkelanjutan di lima negara Asia.
Integrasi pemulihan ekonomi hijau
Laporan ini menyoroti kebutuhan definitif bagi pemerintah negara-negara Asia untuk mengintegrasikan dan mempertimbangkan pemulihan ekonomi hijau ke dalam rancangan paket stimulus covid-19 untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.Kemudian, menekankan bahwa porsi paket stimulus fiskal merupakan sebuah sinyal kebijakan yang kuat mengenai apa yang menjadi prioritas negara tersebut dalam rangka pemulihan ekonomi. Hal tersebut menjadikan paket stimulus sangat penting dalam mendukung kebijakan ekonomi dan bisnis yang berkelanjutan.
Selain itu laporan ini dibuat berdasarkan the Greenness of Stimulus Index (GSI) yang kemudian dikembangkan oleh Vivid Economics untuk menilai implikasi keberlanjutan dari paket stimulus fiskal di lima negara Asia yang termasuk dalam studi tersebut.
Indeks tersebut menunjukkan bahwa program-program stimulus fiskal yang dikeluarkan oleh negara-negara tersebut tidak cukup mempertimbangkan keberlanjutan dan dampaknya terhadap iklim.
"Menghentikan krisis selanjutnya memiliki arti bahwa pengarusutamaan aksi iklim ke dalam setiap pengambilan keputusan adalah kebutuhan saat ini. Kita harus melanjutkan tindakan ambisius terhadap perubahan iklim saat dunia pulih dari pandemi, terutama karena triliunan dikucurkan untuk stimulus ekonomi," kata Direktur Pelaksana Global CPI Barbara Buchner, dalam keterangan resminya, Rabu, 10 Maret 2021.
Studi ini diluncurkan dalam dialog tingkat tinggi yang diadakan secara secara virtual dan dihadiri oleh para pembuat kebijakan utama dari negara-negara Asia, termasuk Dosen Senior di Universitas Indonesia dan mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia Muhammad Chatib Basri.
Kemudian dihadiri oleh Direktur Pelaksana Global, Climate Policy Initiative Dr. Barbara Buchner; Asisten Sekretaris Departemen Keuangan, Republik Filipina , Paola Alvarez; CEO Convergence Energy Services Limited Mahua Acharya, anak perusahaan di bawah Kementerian Tenaga Listrik, Pemerintah India; Senior Fellow and Head, Economy and Growth Programme India Mihir Swarup Sharma; dan Associate Director, Climate Policy Initiative Tiza Mafira.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News