Ilustrasi perubahan iklim. Foto: AFP
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: AFP

Jelang COP26, Deklarasi Darurat Iklim Disuarakan

Medcom • 19 Oktober 2021 23:11
Jakarta: Deklarasi darurat iklim disuarakan sejumlah pemimpin komunitas menjelang konferensi tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021. Suara ini digaungkan agar pemerintah dan publik bahu-membahu melestarikan bumi.
 
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengemukakan persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban. Upaya ini harus dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.
 
"Berdasarkan kajian kami dalam artikel "Deep decarbonization of Indonesia’s Energy System", dekarbonisasi mendalam pada sistem energi pada 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar,” ujar Fabby dalam webinar bertema Menuju COP 26:  Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi yang diselenggarakan IESR, Selasa, 19 Oktober 2021.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Fabby mengatakan manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru. Sehingga, dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. 
 
Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih. Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.
 
Baca: Presiden Jokowi Dipastikan Hadiri KTT COP26 di Glasgow
 
Aktivis dari Extinction Rebellion Indonesia, Melissa Kowara, mengatakan deklarasi darurat iklim ini sebagai alarm agar pemerintah serius menghadapi krisis iklim. 
 
"Kita akan melakukan segala cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, dan pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua," kata Melissa. 

Harus masuk diskursus keagamaan

Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Muhammad Ali Yusuf, mengungkapkan bahwa diskursus keagamaan di Indonesia masih jauh dari isu ekologis atau perubahan iklim. 
 
"Kalaupun sudah ada, belum masuk isu prioritas utama. Untuk itu, literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama, sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim,” jelasnya.
 
Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jimmy Sormin, mendorong tokoh agama lebih berperan meningkatkan pemahaman umat terhadap persoalan iklim. Tentunya dengan membahasakannya sesuai konteks lokal.
 
"Di daerah, dampak perubahan iklim seperti munculnya hama baru, gagal panen, dirasakan oleh masyarakat, namun mereka tidak memahaminya. Perlu membumikan hal tersebut sesuai dengan perspektif mereka (masyarakat setempat)," ujar Jimmy.
 
Dilihat dari sisi perempuan, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka berpendapat bahwa seyogyanya perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Namun, Mike menyayangkan isu lingkungan dan perubahan cenderung dianggap sebagai isu maskulin. Sehingga mengesampingkan peran perempuan dalam merawat alam dan melakukan advokasi permasalahan iklim.
 
Baca: Inggris Ajak Pemimpin Dunia Selamatkan Planet Melalui COP26
 
"Padahal, dampak perubahan iklim paling berat dirasakan perempuan karena kebijakan dan sistem kita tidak disiapkan secara inklusif. Inisiatif positif yang dilakukan oleh perempuan dengan melakukan advokasi perubahan iklim juga harus diberi pengakuan (recognition) oleh negara," kata Mike.
 
(UWA)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All



LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif