"Komitmen saja tidak cukup, butuh kerja nyata agar transisi energi terwujud," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa melalui keterangan tertulis, Selasa, 28 Desember 2021.
Pemerintah mengumumkan rencana mencapai dekarbonisasi pada 2060. Selain itu, pemerintah juga berencana tak akan ada lagi membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kemudian, pemerintah menetapkan porsi energi terbarukan lebih besar dari energi fosil dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Ini menunjukkan perubahan paradigma pemerintah, yang tadinya bertumpu pada fosil kemudian memperbanyak kapasitas energi terbarukan,” kata Fabby.
Fabby mencatat pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mewujudkan transisi energi. Menurutnya, 900 megawatt (MW) tambahan kapasitas energi terbarukan masih jauh di bawah target. Seharusnya, kata dia, pada 2002-2025 Indonesia menambah 14 ribu MW untuk mencapai target 23 persen energi terbarukan.
“Jadi memang harus nambah 13 ribu MW. Dalam empat tahun ke depan kita harus bisa mengejar itu. Kapasitas yang harus dibangun 3 ribuan MW setiap tahun. Ini tantangan,” ujar Fabby.
Dia mendesak pemerintah melengkapi dan memperbaiki kerangka regulasi yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan bisa lebih cepat. Regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan harus diganti. Untuk meningkatkan daya tarik investasi, tidak harus melalui pemberian insentif.
“Kepastian peraturan itu penting,” ujar dia.
Baca: Ujung Tombak Transisi Energi
Kemudian, lelang energi terbarukan harus jelas setiap tahunnya, sehingga investor bisa mengalokasikan rencana investasinya dalam jangka panjang di Indonesia. “Frekuensinya diatur, volume lelang juga diatur,” kata Fabby.