Ekonom Indef, Enny Sri Hartati. (FOTO: MI/Arya Manggala)
Ekonom Indef, Enny Sri Hartati. (FOTO: MI/Arya Manggala)

Ada Anomali Signifikan di Inflasi Mei

Husen Miftahudin • 02 Juni 2016 12:09
medcom.id, Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2016 mengalami inflasi sebesar 0,24 persen atau terjadi kenaikan harga yang cukup signifikan dibanding bulan sebelumnya yang justru terjadi deflasi sebesar 0,45 persen. Inflasi bulan ini terjadi pada semua kelompok barang, utamanya kelompok bahan makanan dengan tingkat inflasi sebesar 0,30 persen.
 
Baca: Harga Komoditas Pokok Terkendali, April Deflasi 0,45%
 
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pada Mei ini terjadi anomali yang cukup signifikan. Pasalnya kelompok bahan makanan yang menyumbang inflasi terbesar, pada bulan ini melonjak drastis dibanding bulan sebelumnya. Padahal April sendiri kelompok ini mengalami deflasi 0,94 persen, dan justru melonjak drastis pada bulan ini menjadi inflasi 0,30 persen.

Ada Anomali Signifikan di Inflasi Mei
Sumber: BPS
 
"Naik turunnya harga itu sebenarnya hal yang wajar, tetapi ini menjadi sesuatu yang bisa dikatakan anomali karena April kemarin BPS mencatat deflasi yang cukup spektakuler yakni 0,94 persen untuk bahan makanan. Faktor penyumbang deflasi 0,94 persen di April itu karena melimpahnya pasokan, tapi tiba-tiba satu bulan di Mei itu justru terjadi inflasi di bahan makanan yang itu inflasinya 0,3 persen yang dari deflasi 0,94 persen," ujar Enny seperti diberitakan Kamis (2/6/2016).
 
Dia menyayangkan langkah pemerintah untuk menjaga bahan-bahan makanan pada bulan ini tidak terlihat dampaknya. Pasokan yang berlimpah justru membuat harga meningkat tajam, artinya kata dia, ada banyak pedagang yang menimbun bahan makanan sehingga membuat harga merangkak naik dan berimplikasi pada tingkat inflasi bulanan.
 
"Yang menjadi persoalan adalah mengapa regulator atau pemegang kekuasaan ini membiarkan penimbunan itu terjadi. Ini kan mestinya kebijakan-kebijakan ekonomi kita tidak memberikan ruang kepada spekulan. Tetapi yang terjadi adalah dari tahun ke tahun itu selalu persoalan fundamental itu tidak diselesaikan sehingga memungkinkan para spekulan terus memanfaatkan keadaan untuk menetapkan harga yang merugikan masyarakat," imbuh dia.
 
Dijelaskannya bahwa inflasi terjadi karena ada dua faktor utama, yakni pasokan yang kurang dan adanya tekanan permintaan. Kondisi inflasi yang terjadi pada sebulan sebelum Lebaran ini menjadi pertanyaan karena di sisi pasokan justru melimpah sesuai yang diklaim pemerintah melalui kementerian teknis terkait.
 
Baca: Inflasi Rendah karena Intervensi Pemerintah
 
Di sisi lain tekanan permintaan justru rendah karena sebulan sebelum puasa biasanya tidak mengalami lonjakan permintaan yang begitu tinggi. Menurut Enny, tingginya permintaan biasanya akan terjadi pada seminggu sebelum puasa dan seminggu pertama puasa.
 
Maka itu pemerintah diminta untuk tidak memberikan data yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Jika memang kekurangan pasokan, maka pemerintah harus siap siaga agar kenaikan harga tidak terjadi. Dan jika memang kelebihan pasokan, maka harus dijaga agar tidak ada spekulan yang memanfaatkan situasi untuk menimbun.
 
"Oleh karenanya ke depan yang harus betul-betul dievaluasi adalah bagaimana pemerintah menyajikan data yang benar. Jadi kalau datanya tidak valid, proses antisipasi jadi tidak ada sehingga yang terjadi. Jadi kalau misalnya April kemaren tidak dikatakan pasokan melimpah tentu sudah ada proses antisipasi sehingga sekali pun ada kenaikan fluktuasi harga, ini tidak langsung fluktuasinya sedemikian besarnya. Kalau seperti sekarang yang terjadi ini kan pemerintah hanya sebagai posisi pemadam kebakaran," ketus Enny.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan