Ken menjelaskan, pada dasarnya proses repatriasi bisa dilakukan dalam jangka panjang dan tidak harus berbarengan dengan program tax amnesty saat ini.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun mengakui tidak bisa mengontrol besarnya dana yang masuk. Sebab dana repatriasi bisa masuk dari berbagai jalur seperti Surat Berharga Negara (SBN), obligasi BUMN, obligasi lembaga pembiayaan pemerintah, investasi keuangan pada bank persepsi, obligasi perusahaan swasta yang berdagangannya diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha, investasi sektor riil, dan bentuk investasi lainnya.
Baca: Dana Repatriasi Rp29 Triliun Gagal Pulang ke RI
"Repatriasi macam-macam, bisa cash, transfer langsung, bank, crossing saham. Uncontrolable buat DJP, karena DJP tidak bisa memaksa orang untuk 'ayo kamu harus repatriasi'," tegas Ken di Kantor Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat 31 Maret 2017.
Ken menuturkan, dalam Undang-Undang tax amnesty pun dikatakan wajib pajak bisa memilih untuk melakukan repatriasi dan deklarasi. Sehingga, meski dana repatriasi sebesar Rp29 triliun gagal masuk ke Indonesia, tidak bisa dikatakan DJP gagal menarik dana tersebut.
Baca: Gagal Repatriasi Rp29 Triliun, BKPM: Investor Cari Waktu Tepat Berinvestasi
"Karena Undang-Undang disediakan dua, repatriasi dan deklarasi. Kita tidak bisa katakan sekian lalu dikatakan gagal, wong Undang-Undangnya deklarasi boleh kok. Bukan berarti repatriasi ditulis sebesar itu, lalu dikatakan gagal," tutup dia.
Sekadar informasi, dalam program amnesti pemerintah pernah mematok target cukup tinggi yakni deklarasi luar negeri mencapai Rp3.500 triliun sampai Rp4.000 triliun, dana repatriasi Rp1.000 triliun. Sehingga, dengan tarif tebusan pengampunan pajak dua persen sampai 10 persen uang tebusan yang akan bisa masuk mencapai Rp165 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News