Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, terdapat kondisi normalisasi kebijakan makro terutama moneter yang datang tidak dari Amerika Serikat (AS) melainkan datang dari kebijakan European Central Bank (ECB) dan di Bank of Japan (BoJ). Hal itu bisa memberikan tekanan terhadap likuiditas di pasar global dan memengaruhi Indonesia.
"Kondisi ini nantinya akan memberikan efek ke arus modal (di Tanah Air). Tapi, dengan layak investasi maupun kebijakan hukum di riil akan memberikan efek positif bagi ekonomi Indonesia," kata Ani, biasa ia disapa, dalam rapat kerja antara pemerintah dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa 6 Juni 2017.
Terkait situasi dan kondisi perekonomian maka pemerintah memperkirakan nilai tukar rupiah di RAPBN 2018 berada di kisaran Rp13.500 per USD hingga Rp13.800 per USD. Adapun upaya menjaga nilai tukar rupiah akan dilakukan dengan hati-hati sesuai nilai fundamentalnya. Bahkan, penguatan rupiah harus dijaga tanpa mengakibatkan penurunan ekspor.
Baca: Pemerintah Proyeksi Nilai Tukar Rupiah 2018 di Level Rp13.500-Rp13.800/USD
Lebih lanjut, Ani menambahkan, terdapat sebuah risiko dari tingkah laku pelaku pasar modal dan pasar uang saat mengalami gejolak akibat sentimen yang ada di mana sentimen itu bukan datang dari ranah ekonomi melainkan datang dari ranah politik. Hal semacam ini yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan secara cermat agar tidak memberikan efek negatif.
Baca: Sri Mulyani Paparkan Strategi Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 5,4-6,1% di Paripurna
"Seperti yang terjadi di middle east dan bisa men-drive serta memberikan dampak permanen terhadap nilai tukar walau tidak ada kaitan dengan fundamental seperti ekspor dan impor. Kami akan terus menjaga kisaran untuk dapat bergerak positif," tegas Ani.
.jpg)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Terkait harga minyak dunia, lanjut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, pergerakannya terbilang sulit diprediksi. Pada 2016 silam, harga minyak dunia turun dan berada di level terendah. Namun, timbul pertanyaan apakah harga minyak dunia tersebut bisa kembali meningkat atau tidak di 2017 ini.
Baca: Jaga Keseimbangan Makro Alasan Kebijakan Fiskal Ekspansif Ditempuh
Ani melihat, terdapat persoalan mengenai upaya meningkatkan harga minyak dunia sekarang. Adapun salah satu persoalan dimaksud berkaitan dengan teknologi. Kehadiran teknologi yang berkembang pesat sekarang ini sedikit banyak memberikan kemudahan dalam memproduksi minyak termasuk menekan biaya pengeboran.
"Minyak diupayakan berkurang tapi karena ada teknologi maka mendapatkan minyak bisa dengan harga murah sekarang ini yang membuat suplai minyak dunia banyak. Untuk itu, konsensus kami untuk harga minyak dunia berada di USD40 per barel hingga USD60 per barel di 2018," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id