Ilustrasi. Foto: dok MI.
Ilustrasi. Foto: dok MI.

Mengenal Flexing, Perilaku Pamer Kekayaan

Antara • 22 Februari 2022 17:30
Jakarta: Masih hangat dibicarakan dan menjadi kata yang sering diucapkan dalam media daring khususnya untuk kalangan milenial dan gen Z perihal istilah flexing. Dalam bahasa gaul atau slang words, kata flexing merupakan kata yang memiliki arti orang yang suka menyombongkan diri, biasanya pamer kekayaan.
 
Sementara menurut Cambridge Dictionary, flexing menunjukkan sesuatu yang seseorang miliki atau raih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan.
 
Melansir Antara, Praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Bisnis UMKM Shafa Consulting Baratadewa Sakti Perdana mengatakan, contoh flexing adalah seorang influencer yang pamer sepatu sneaker merek tertentu atau hal-hal terkait pamer kemewahan lainnya di media sosial.

Orang yang flexing dianggap suka berbohong karena seseorang yang berperilaku pamer berharap agar ia dianggap memiliki banyak kekayaan dan pundi-pundi uang, padahal realitanya tidak demikian. Bahkan flexing bisa jadi hanyalah sebuah strategi marketing influencer bila tujuan sebenarnya adalah untuk menarik perhatian follower.
 
Biasanya hal-hal yang diduga mengandung unsur negatif, cenderung ada udang di balik batu. Pun dengan konten-konten flexing yang marak belakangan ini di media sosial. Dalam konteks konten bagi pemirsanya, maka flexing dapat memengaruhi alam bawah sadar manusia, biasanya seseorang akan mengikuti orang lain yang dianggap punya power lebih besar dibanding dirinya.
 
Sehingga ketika kita melihat orang lain lebih sukses dari kita, hal itu jadi socialproof/penegas bagi otak, orang yang sedang flexing ini bisa dijadikan mentor, leader, dan lain sebagainya. Akibatnya si pelaku flexing bisa dengan mudah menanamkan sesuatu di otak seseorang.
 
Inilah yang kemudian menyebabkan seseorang yang terkena pengaruh negatif flexing menjadi ketakutan kehilangan momentum bila tidak dapat mengikuti tren yang sengaja digembar-gemborkan oleh influencer, karena simbol yang dipamerkan tersebut ternyata telah diikuti pula oleh kawan-kawannya.
 
Kondisi ini biasa disebut dengan FOMO (Fear of Missing Out). Akibatnya, orang yang merasa FOMO bisa merasa sedih, iri, bahkan bisa minder ketika bertemu teman-temannya, namun ia belum bisa memakai tren terbaru yang diwujudkan dalam simbol yang sedang tren dikenakan oleh teman-temannya tersebut.
 
Perilaku flexing ternyata juga dapat meningkatkan keinginan tubuh dalam memuaskan ego seseorang, khususnya pada pemahaman kita ini hidup cuma sekali. Dan karena hidup hanya sekali, maka nikmatilah sekarang selagi bisa.
 
Lalu bagaimana dengan hari-hari selanjutnya? Emang gue pikirin? Begitulah kira-kira narasi YOLO (You Only Live Once) yang kini populer pada mayoritas kalangan milenial dan gen Z.
 
Veblen di dalam buku yang ditulis Deliarnov berjudul Perkembangan Pemikiran Ekonomi yang terbit di 2015 menyebutkan, saat terjadi penyebaran informasi yang semakin masif dan pasar yang sering menawarkan berbagai macam produk menggiurkan, sehingga hal itu dapat menggugah selera dan cita rasa konsumen. Maka yang kemudian terjadi adalah pemanfaatan waktu senggang banyak digunakan oleh aktivitas pleasure (bersenang-senang, hedonis) yang kemudian identik disebut dengan perilaku senang berbelanja.
 
Oleh karenanya, menurut Veblen, perilaku ini akan mendorong seseorang untuk berlomba-lomba membeli barang-barang mewah yang digunakan untuk pamer, tidak peduli apakah barang tersebut berguna atau tidak dalam kehidupan sehari-hari.
 
Sehingga dapat kita ambil kesimpulan flexing yang dilakukan influencer memang memiliki pengaruh negatif kepada para pengikutnya sebab dapat terdampak penyakit perilaku bernama YOLO dan FOMO.
 
 
Halaman Selanjutnya
  Antisipasi Karena itu perlu…
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan