Hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memandang risiko kontraksi ekonomi yang lebih dalam di waktu dekat, ditambah dengan kemungkinan penyebaran virus yang berkepanjangan di Indonesia, telah mendorong pasar menjadi lebih bergejolak dari sebelumnya.
"Ketakutan yang membayangi investor dapat mengganggu stabilitas rupiah di masa depan, sehingga dapat meningkatkan ongkos melakukan transaksi dalam perdagangan internasional," tulis LPEM dalam rilis analisis makroekonomi RDG BI edisi September 2020, Kamis, 17 September 2020.
Meskipun tekanan deflasi yang meningkat memberikan momentum yang cukup bagi bank sentral untuk lebih melonggarkan kembali kebijakan moneternya, stabilitas rupiah lebih krusial. Bagaimanapun, permintaan kredit diperkirakan akan tetap rendah seiring implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah Jakarta telah dimulai.
Sementara itu, BI juga perlu menjaga kebijakan makroprudensial dan mendorong kebijakan moneter nonkonvensional secara lebih agresif untuk menjaga jumlah likuiditas agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Untuk saat ini, kami melihat bahwa perbedaan tingkat suku bunga saat ini masih relatif menarik untuk menjaga aliran modal masuk dan stabilitas nilai tukar," paparnya.
Mengulik lebih dalam, LPEM menilai Bank Indonesia sejak Maret semakin memperhatikan risiko pertumbuhan ekonomi dan mengubah sikap kebijakannya menjadi kebijakan yang secara preemtif mendukung pertumbuhan untuk mengurangi dampak krisis kesehatan sekaligus mengelola stabilitas pasar keuangan.
Selain empat kebijakan penurunan suku bunga sepanjang tahun ini di mana dua di antaranya terjadi selama periode pandemi, bank sentral juga telah melakukan kebijakan moneter nonkonvensional seperti quantitative easing untuk mendanai defisit fiskal yang melebar selama pandemi dengan membeli obligasi pemerintah melalui skema burden-sharing. Dengan skema ini, BI telah membeli obligasi pemerintah senilai sekitar USD6,79 miliar selama sebulan terakhir.
Namun, tren kenaikan jumlah utang dalam mata uang rupiah dapat menghambat investor untuk menanamkan asetnya karena risiko depresiasi mata uang yang tinggi seiring meningkatnya risiko kontraksi ekonomi global yang semakin dalam dan telah menimbulkan ketidakpastian di pasar sejak awal September. Akibatnya, rupiah melemah ke level Rp14.900 per USD pada 14 September 2020 dan tercatat sebagai mata uang dengan depresiasi terparah di negara berkembang Asia.
Di sisi lain, semakin menurunnya akumulasi aliran modal masuk mendorong imbal hasil obligasi pemerintah yang lebih tinggi. Meski inflasi bulan lalu sangat rendah, permintaan kredit diperkirakan akan tertahan dalam waktu dekat seiring diberlakukannya PSBB di wilayah Jakarta. Kondisi ini memberikan ruang bagi BI untuk memprioritaskan stabilisasi rupiah pada bulan ini akibat meningkatnya risiko ketidakpastian di pasar keuangan.
"Oleh karena itu, kami memandang BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya di tingkat 4,0 persen bulan ini untuk menjaga stabilitas keuangan sekaligus mendukung pertumbuhan melalui kebijakan makroprudensial dan moneter nonkonvensional sebagai langkah dalam mendorong likuiditas," pungkas LPEM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id