Lembaga pemberi pinjaman yang berbasis di Washington ini sebelumnya memperkirakan 60 juta orang akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem karena covid-19. Namun perkiraan baru menyebutkan ada 70 juta hingga 100 juta.
"Jumlah itu bisa lebih tinggi jika pandemi memburuk atau berlarut-larut," tutur Malpass, dilansir dari AFP, Jumat, 21 Agustus 2020.
Dalam wawancaranya dengan AFP, Malpass mengatakan situasi ini membuat kreditur harus mengurangi jumlah utang di negara-negara miskin yang berisiko. Sehingga, melampaui komitmen untuk menangguhkan pembayaran utang. Meski begitu, lebih banyak negara akan berkewajiban merestrukturisasi utangnya.
Negara-negara maju di Kelompok 20 telah berkomitmen untuk menangguhkan pembayaran utang dari negara-negara termiskin hingga akhir tahun. Serta, ada dukungan yang tumbuh untuk memperpanjang moratorium tersebut hingga tahun depan.
Tetapi Malpass mengatakan itu tidak akan cukup karena kemerosotan ekonomi dari negara-negara tersebut, yang sudah berjuang untuk menyediakan jaring pengaman bagi warganya, tidak akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk menangani pembayaran.
Menurut dia, jumlah pengurangan utang yang dibutuhkan akan bergantung pada situasi di masing-masing negara. Kebijakan di setiap negara dinilainya sangat masuk akal.
"Jadi, saya pikir kesadaran akan hal ini secara bertahap semakin nyata. Terutama untuk negara-negara dengan kerentanan tertinggi terhadap situasi utang," tambah dia.
Bank Dunia telah berkomitmen untuk menggelontorkan USD160 miliar ke 100 negara hingga Juni 2021 sebagai upaya untuk mengatasi keadaan darurat yang mendesak. Namun demikian, kemiskinan ekstrem yang didefinisikan sebagai berpenghasilan kurang dari USD1,90 per hari, terus meningkat.
Malpass mengatakan kerusakan tersebut disebabkan oleh kombinasi dari penghancuran pekerjaan selama pandemi serta masalah pasokan yang membuat akses mendapatkan makanan lebih sulit.
"Semua ini berkontribusi untuk mendorong orang kembali ke dalam kemiskinan ekstrim, semakin lama krisis ekonomi berlanjut."
Kepala Ekonom Bank Dunia yang baru diangkat, Carmen Reinhart, menyebut krisis ekonomi sebagai depresi pandemi, tetapi Malpass kurang peduli dengan terminologi tersebut.
"Kami dapat mulai menyebutnya depresi. Fokus kami adalah pada bagaimana kami membantu negara-negara menjadi tangguh dalam bekerja di sisi lain," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News