Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, dalam diskusi Pengembangan Migas di Kawasan Natuna untuk Kedaulatan Energi dan Bangsa. Dalam paparannya, Arcandra mengakui terjadi kemunduran jadwal penandatanganan kontrak blok tersebut.
Seharusnya, lanjut Arcandra, penandatanganan kontrak dilakukan pada 14 November 2016 lalu, tapi karena ada beberapa hal yang dirasa tidak menguntungkan pemerintah maka penandatanganan kontrak tersebut ditunda.
Baca: Kedaulatan di Daerah Terdepan
"Sebenarnya di Kementerian ESDM kita menginginkan bahwa lapangan ini ditandatangani dua minggu lalu. Harusnya. Jadi tidak ada yang bilang tidak ada yang punya. Tapi Ada beberapa term yang kita rasa tidak menguntungkan," kata Arcandra, di Crown Hotel, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (5/12/2016).
Baca: Pertamina Pertimbangkan Minat Malaysia dan Jepang dalam Konsorsium East Natuna
Arcandra menyebut salah satu poin yang dirasa kurang menguntungkan adalah soal bagi hasilnya (split) antara pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan insentif fiskal yang akan diberikan. "Salah satunya masalah split, pembagiannya. Nah itu (fiskal) dari split-nya sedang dibicarakan," ujar Arcandra.
Baca: Revisi PP 79, Daya Pikat Investor Kelola Blok Migas Perairan Natuna
Sementara untuk teknologi yang akan digunakan, ia tidak mempersoalkan, karena teknologi merupakan bagian dari studi pengembangan Blok East Natuna tersebut. Lebih lanjut, kata Alumni ITB itu, pemerintah terus melakukan diskusi untuk mencari solusi win-win untuk kendala tersebut.
Arcandra menargetkan kembali bahwa kontrak east natuna akan dilakukan paling lambat Januari 2017. "Kalau bikin target baru. Mungkin awal tahun bisa kita resolved isu-isu yang menjadikan solusinya win-win," pungkas dia.
Sekadar informasi, penandatanganan kontrak kerja sama blok east natuna akan dilakukan antara pemerintah dan konsorsium PT Pertamina (Persro), ExxonMobil, dan PTT EP. Kontrak tersebut sudah siap dan sudah masuk finalisasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News